Monday, June 8, 2009

Terima Kasih




Kembali ke atmosfir yang sudah lama tak pernah saya rasakan. Demikianlah ketika saya mulai merangkai kalimat dan membuat tulisan untukmengisi blog “korannya ucup” yang sudah lama tak menerima postingan baru. Ada sedikit hasrat yang mulai berpijar tiap kali jari-jari saya menyentuh barisan huruf yang tertata rapi di keybord. Sebuah hasrat yang dahulu begitu hangat menemani saya setiap kali berusaha melahirkan karya baik untuk sekadar bersenang-senang atau karena tuntutan pekerjaan. Setelah sekian lama kehilangan kesenangan membuat tulisan kini sedikit demi sedikit saya mulai menemukan kembali kenikmatan itu. Kenikmatan berekreasi di dunia imajinasi dan kenyataan yang bebas.

Sebagai anggota redaksi sebuah majalah, menulis memang pekerjaan saya setiap hari. Tapi entah kenapa sudah lama saya tidak bisa menikmati pekerjaan tersebut. Menulis bagi saya hanyalah sebuah kegiatan rutin yang “biasa”, tak ada letupan, tak ada kegairahan sebuah repetisi tanpa makna, tak ada nyawa. Namun kegairahan ini kembali muncul setelah mempir ke blog Dewi Lestari yang mengulas tulisan Ndoro Kakung di blognya. Nge-blog: Perjalanan Panjang Dengan Hati. Ulasan Dewi Lestari tentang tulisan Ndoro Kakung di blognya mulai menarik hati saya untuk mampir ke blog beliau. Setelah dari blog Ndoro Kakung sayapun menyempatkan diri untuk bertamu ke blognya Raditya Dika

Hasilnya saya kembali tersadar pada hal yang paling esensi tentang menulis. Menulis adalah membiarkan ide bergerak bebas bersama imajinasi disertai sapuan-sapuan suasana hati yang membuat menulis menjadi sebuah perjalanan menyenangkan tanpa batas. Dan yang paling penting menulis adalah sebuah ritual yang bisa dilakukan sembari bersenang-senang. Tanpa beban, tapi punya tujuan yang pasti dan jelas. Dua minggu lalu teman saya kembali membukukan karya-karya puisinya dan mencetak novel ke duanya. Sembari melakukan promosi dia menyempatkan diri untuk mengingatkan saya agar secepatnya menemukan kembali diri saya. Dengan mengais semangat yang masih tersisa saya pun kembali ke jalan yang begitu lama saya tinggalkan. Agar cita-cita sederhana untuk bercerita ke teman-teman, “Eh novelku dijual lho di toko buku…….. berdeketan lagi ama novelnya Pramoedya Ananta Toer,” bisa kembali terwujud.

Terima kasih Dewi Lestari, Ndoro Kakung, Raditya Dika dan temanku yang tak pernah berhenti berkarya Handoko atas semua letupannya.