Friday, November 14, 2008

Gusti Allah Tidak "nDeso"

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi.
"Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal,tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya :
kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita
cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~

Saturday, November 8, 2008

Behind the story

Tulisan yang aku posting ini sebenarnya salah satu naskah yang aku kirimkan untuk sebuah lomba dengan tema lingkungan. Tulisan biasa bahkan cenderung bias tidak jelas tidak punya visi dan tujuan pasti. Seperti biasa laiknya orang yang suka-suka cari alasan untuk menutupi kekurangan pun aku juga demikian. Dimulai dari pengerjaannya yang cuma 1 hari padahal panitia memberi waktu tiga untuk menulis dan mengumpulkan bahan. Dua bulan plus 29 hari tidak aku manfaatkan. Alasan klasiknya sibuk padahal maleeees.

Tapi dibalik ini semua ada sedikit hal mneyenangkan karena gara-gara naskah ini aku jadi sedikit intens berhubungan dengan dewi lestari meski cuma lewat email. Kenapa bisa demikian? karena hampir naskah yang aku biki inspirasinya dari tulisan soal lingkungan yang dia buat. Jadi sebelum menulis aku minta ijin dari dia, dan dari situ kita jadi lumayan intens berhubungan. Lalu bagaimana naskah yang hancur itu inilah dia....

Memupuk Harapan Untuk Bumi Lebih Indah

Tak ada yang lebih menggairahkan dalam hidup ini selain tetap menyimpan suatu harapan. Bak sebuah oase di tengah gersang, harapan selalu dapat melahirkan keajaiban tak terduga-duga, menggerus pesimisme yang menumpuk hingga membawa kita pada jutaan ketakjuban. Kita percaya bahwa harapan yang ditunjang oleh keinginan kuat mampu mereduksi segala kemuskilan. Membuat sesuatu yang mengawang menjadi sesuatu yang nyata. Maka tak terlampau berlebihan jika kita juga meletakkan harapan sebagai tiang besar untuk menyangga kelangsungan bumi ini. Sebuah harapan untuk membuat wajah bumi ini kembali tersenyum senang, bahkan jauh lebih riang. Lalu harapan seperti apa yang bisa kita letakkan untuk memperpanjang masa depan bumi ini?

Harapan akan terpantiknya kesadaran dari tiap-tiap individu untuk berperan bersama menyelamatkan bumi dengan cara masing-masing sesuai kapasitas masing-masing. Harapan agar semakin banyak kebijakan-kebijakan dari para pemegang kendali Negara yang meletakkan pertimbangan ekologis sebagai rujukan utama. Terbitnya kesadaran dari setiap individu akan menjadi modal yang kuat untuk menyokong gerakan-gerakan “sporadis” yang selama ini terus diupayakan oleh para pecinta lingkungan tapi hanya menjadi riak kecil di tengah gelombang ketidakpedulian. Gerakan yang dimulai oleh kesadaran mempunyai potensi besar untuk berkembang. Bak sebuah percik api yang suatu saat bisa membara ataugelombang kecil yang bisa bermutasi menjadi tsunami.

Data-data yang menunjukkan betapa sakitnya bumi ini sudah terpampang di depan mata secara jelas dan gamblang. Hal ini seharusnya bisa menjadi motivasi bagi siapapun yang masih ingin menyelamatkan bumi ini agar tetap berputar pada porosnya. Kita bisa ambil contoh kerusakan lingkungan dari hutan-hutan yang ada di Indonesia. Ada sebuah catatan mencengangkan dari World Resource Institute (1997) bahwa hutan asli Indonesia ternyata telah raib sekitar 72 persen dalam jangka waktu yang sangat singkat. Catatan lain dari Kompas juga menyebutkan jika dalam periode tahun 2000-2005, seluas 5,4 juta hektar hutan Indonesia sudah terbabat dan menyisakan penderitaan bagi makhluk hidup yang ada di dalamnya termasuk manusia itu sendiri.
Padahal jika kita merenung sejenak mengingat romansa masa lalu betapa Indonesia dianugerahi alam indah subur yang menyejukkan. Negara kepulauan yang sanggup membelalakkan mata siapa saja karena bentangan hijau hutannya di sepanjang garis katulistiwa. Tanaman apa saja bisa tumbuh di sana. Bahkan menurut lagu, tongkat dan kayu pun bisa hidup. Belum lagi soal sumbangan hutan Indonesia bagi paru-paru dunia. Indonesia memiliki10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia juga memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Bahkan sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Sekarang apa yang tersisa. Hanya celah-celah tanah kerontang yang gersang, tandus, dan garang. Ironisnya, semua kerusakan tersebut kebanyakan disebabkan oleh tingkah polah manusia. Penebangan hutan yang serampangan dilakukan tanpa kendali. Faktor ekonomi diduga menjadi trigger paling besar yang mengakibatkan terjadinya deforestasi tersebut. Alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau; dan Banyuasin, Sumatera Selatan, adalah contoh sahih.
Tentunya dengan semakin berkurangnya jumlah hutan “sehat” di Indonesia, maka sebagian besar wilayah Indonesia menjadi kawasan yang rentan bencana. Tak heran jika rangkaian bencana seperti: kekeringan, banjir, tanah longsor kerap terjadi di beberapa kawasan Indonesia. Bakornas Penanggulangan Bencana (2003) melansir sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat 647 kejadian bencana di Indonesia melenyapkan 2022 korban jiwa dengan kerugian milyaran rupiah. Dan dari kejadian tersebut 85%-nya adalah bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Meskipun demikian, sikap mengkambinghitamkan orang lain sebagai pihak paling bertanggung jawab atas semua kejadian ini bukan sebuah sikap yang bijak. Sementara di sisi lain kita hanya menempatkan diri sebagai malaikat yang kalis dari dosa dan tak punya andil terhadap kerusakan alam ini. Alam dan lingkungan ini adalah bagian dari seluruh makhluk hidup yang ada di atasnya. Masalah yang di dalamnya juga merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi semua pihak tanpa terkecuali untuk menuntaskannya. Kalau mau jujur meruntut segala hal yang kita lakukan di bumi ini, pasti ada beberapa bagian dari tingkah kita yang memberikan imbas negatif terhadap lingkungan. Mungkin kita tidak menjadi bagian integral dari kumpulan maling kayu di tengah hutan Kalimantan atau anak buah dari para taipan hitam yang tanpa ragu melakukan illegal loging. Tapi kita pasti pernah melakukan aktivitas kecil yang secara tidak sengaja membuat bumi ini terengah-engah menyangga dampaknya.
Salah satu contohnya adalah saat kita membuang bungkus plastik dari makanan yang kita konsumsi. Perbuatan sepele ini ternyata sanggup membawa masalah bertele-tele. Sebagaimana kita tahu plastik adalah benda yang terbuat dari bahan yang sangat sulit diurai dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk musnah. Artinya kita memberikan pekerjaan rumah yang sangat panjang bagi bumi ini untuk menghapus jejak bungkus plastik yang kita buang. Lalu upaya apa yang bisa kita lakukan untuk sedikit mengurangi dosa kita dalam mendzalimi bumi. Langkah pencucian dosa bisa dimulai dari sesuatu yang ringan seringan kita membuang sampah dari bungkus plastik. Barangkali tak terlampau berat jika kita mau menggunakan listrik secara bijak, menghemat air, memisahkan sampah-sampah organik non organik, mulai mengurangi “konsumsi” plastik dan kegiatan berguna lainnya.

Apakah upaya kecil tersebut cukup memberikan dampak bagi kelangsungan bumi? Kita tidak pernah tahu. Tugas kita hanyalah berbuat sesuatu bukan bertanya tapi nihil tindakan dan respon. Lalu biarkan alam mengurai semua upaya kita dengan mekanismenya. Dan suatu saat bumi akan memberikan jawaban kepada kita di waktu yang tepat. Kita juga tak perlu terusik oleh sinisme yang mengemuka seperti pernyataan, “Apa arti perbuatan kita kalau kenyataannya kita bergerak sendirian, sementara orang-orang yang paling bertanggung jawab di luar sana tenang-tenang saja menjalani hidup.”

Saya sendiri tak terlampau terganggu dengan pernyataan-pernyataan seperti di atas. Karena intensitas saya mencintai bumi lebih disebabkan oleh kebutuhan diri sendiri. Saya masih ingin lebih lama tinggal di bumi ini dengan tenang. Saya masih ingin melihat anak saya bisa tersenyum tiap hari dengan asupan cahaya matahari yang sehat dan suplai oksigen yang memadai. Egois memang, tapi itulah cara terbaik bagi saya untuk terus membakar rasa peduli pada bumi yang terkadang pasang sesekali surut. Kecil memang tapi lebih baik ketimbang diam tak bergerak ke mana-mana. Meski di sudut lain saya tetap menyimpan harapan bahwa perbuatan kecil saya bisa menimbulkan sinyal positif yang bisa menyebar sekaligus memberikan vibrasi yang positif pula. Harapannya riak kecil yang kita lakukan sanggup menarik riak lain untuk berkumpul dan menciptkan sebuah gelombang besar.
Dalam skala lebih luas sebenarnya masih banyak hal yang bisa kita perbuat. Rajendra Pachauri, ketua badan PBB Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dalam konferensi persnya di Paris, 15 Januari 2008, mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk tidak makan daging, menggunakan sepeda sebagai alat transportasi atau menjadi konsumen yang hemat. Mengapa makan daging justru menjadi prioritas pertama? Menurut Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) produksi daging ternyata mengakibatkan nyaris seperlima dari efek gas rumah kaca. Mengapa? Itu terjadi karena pembuatan makanan ternak terutama hewan pemamah biak seperti sapi menghasilkan emit methane yang 23 kali lebih efektif mengakibatkan pemanasan global ketimbang karbondioksida dari asap kendaraan atau pabrik. Artinya masih banyak celah yang bisa kita gunakan untuk bergerak tinggal pilih yang mana sesuai dengan kapasitas kita untuk melakukannya.
Dari dalam negeri kita juga bisa belajar banyak dari kearifan lokal masa silam tentang cara nenek moyang kita menjaga harmonisasi hidupnya dengan alam. Seperti contohnya masyarakat Papua yang pantang merusak alam. Menurut mereka merusak alam sama dengan merusak budaya sendiri. Alam adalah tempat mereka hidup, menemukan falsafah hidup sekaligus mencari nafkah. Atau di Bali bagaimana para petani di sana melakukan “ibadah” sekaligus melakukan cocok tanam. Setap proses mulai menyemai hingga mengeringkan padi selalu disertai dengan rangkaian upacara. Tujuannya adalah untuk meminta restu Tuhan dan alam. Oleh karena itu merekapun takut melukai alam dengan cara yang tidak benar. Meskipun terlihat sederhana namun jika kita mau mencermati ternyata budaya kita kalah jauh dengan budaya nenek moyang kita. Mereka mampu memanfaatkan alam dengan tetap menjaga eksistensinya.
Bagi siapapun yang bisa melakukan gerak penyelamatan bumi dengan lingkup besar tentu lebih baik. Budaya untuk mencintai lingkungan ini juga sudah harus ditanamkan kepada anak-anak. Adapun pola dan cara yang digunakan tak lagi bercorak teoretis dan dogmatis tetapi lebih pada pendekatan interaktif dengan mengedepankan dialog. Kita juga harus menjadi contoh yang benar. Karena apa artinya kita mengatakan jangan membuang sampah sembarangan pada anak tapi kita masih melakukannya. Mengapa budaya cinta lingkungan hidup ini perlu ditanamkan pada anak-anak kita, karena kelak merekalah penentu kebijakan soal penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik
Terus menambah pengetahuan soal ekologi juga sebisa mungkin terus kita lakukan. Karena semakin banyak tahu maka kita semakin sadar ternyata betapa banyak perbuatan kita yang merusak dan sedikit sekali yang memperbaiki. Mengembalikan wajah bumi tidak gampang. Berbeda waktu kita merusaknya sangat mudah dan cepat. Karena itu kita perlu semakin banyak tahu, meresapinya lalu mengimplementasikan dalam keseharian hidup kita. Hidup semakin hari semakin mahal nilainya. Untuk melangkah maju manusia membutuhkan bekal kemampuan dan wawasan. Disamping ”daya rangsang” dan antusiasme guna mencipta ulang masa depan dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan kuantum untuk membuat perubahan.

Saya sadar tak mungkin bisa mengubah dunia ini sendirian, tapi bersama-sama sangatlah mungkin. Oleh karena itulah saya tak pernah berhenti berharap. Tapi berharap tanpa melakukan sesuatu sama saja menginginkan sesuatu tapi tak beringsut mengambilnya. Karena itu untuk memulainya kita awali dari mengubah diri kita sendiri. Jika kita mengibaratkan diri kita adalah sebuah lilin maka kita telah mulai mematikkan api sebagimana saya tulis di atas. Satu lilin memang hanya menerangi bagian kecil dari suatu ruangan tapi bagaimana jika jumlah lilin itu banyak. Nyalanya sungguh tak terpermanai bukan cuma terang tapi benderang. Lalu siapkah kita menjadi lilin untuk mengajak lilin-lilin lain lain menyala? Seharusnya demikian karena kalau tidak siap dari sekarang kapan lagi.

“There are two ways of spreading light:
to be the candle or the mirror that reflects it”
– Edith Wharton –

Wednesday, November 5, 2008

Keajaiban Kamboja dan Angkor Wat



Dari permulaan tahun 1300 sampai 1863, Kamboja dan Muang Thai seakan terikat dalam satu rumpun keluarga. Sehingga kebudayaan keduanya terkesan saling pengaruh-mempengaruhi.



Semua kamera terus mengerjap merekam warna-warni keajaiban Kamboja. Seiring kaki melangkah, ketakjuban seperti tak pernah jeda menyapa mataku. Sungguh tak terbayangkan jika semua keindahan ini pernah menjerit ngeri, oleh letupan mesiu dan raungan pesta-pesta senjata.
Kini siapa yang menyangka gulungan awan kedamaian terasa begitu rindang memayungi Kamboja. Tak tersisa lagi gambaran porak poranda akibat perang saudara. Rangkuman cerita sedih itu telah mereka letakkan pada salah satu sudut sejarah. Dengan pemerintahan yang tersistemasi dalam garis monarki konstitusional. Kamboja terus menggeliat berbenah mengikis sisa-sisa tirani kekaisaran Khmer.

Dalam tata geografisnya, Kamboja bersinggungan dengan Thailand di bagian barat, Laos di utara, Vietnam sebelah timur, dan Teluk Thailand di selatan. Dengan demografis tersebut tak heran jika entitas budaya ketiga negara ini hampir sulit dibedakan. Salah satunya terbersit pada keberadaan kendaraan sederhana bernama tuk-tuk. Meski tak sepenuhnya sama, namun pemilihan nama dan bentuk transportasi Kamboja ini hampir serupa dengan tuk-tuk di Thailand.

Pembedanya, khusus tuk-tuk Kamboja sengaja menonjolkan paduan antara dua item kendaraan yang hampir sejenis. Yaitu alat transportasi yang tak disentuh mordenitas (kereta kayu) dengan alat transportasi yang kental akan ciri kemajuan teknologi (motor). Hasilnya, sebagai alat transportasi dua item ini mampu mengisi celah antara nilai budaya tradisional dan modern.
Pada pojok wajah Kamboja yang lain tersimpan bangunan tujuh keajaiban dunia. Keajaiban itu terpresentasikan dalam sebuah maha karya bernama Angkor Wat. Bangunan ini memang tak hanya indah tapi juga tersusun oleh tiang-tiang relijiusitas. Karena bentuk dasar Angkor Wat adalah candi tempat persembahyangan guna memuja sang pencipta.

Angkor Wat tidak berdiri sendiri karena tertanam bersama candi-candi lain di dalam kemegahan komplek Angkor Tom. Dan di komplek Angkor Tom berjajar berdampingan bangunan suci umat Budha, Hindu-Siwa serta pemuja Wisnu tanpa saling menindih. Terkumpulnya ragam kepercayaan dalam satu tempat, lebih disebabkan oleh perjalanan waktu yang membentuknya.
Pada abad ke-9, ketika Raja Jayawarman berkuasa, dia berusaha menyatukan bagian negara-negara yang terpecah-pecah. Upaya ini dimanifestasikan dengan membangun istana serta kota di kawasan Angkor (Angkor Tom). Pembangunan besar ini tak bisa langsung rampung. Kemudian pada masa pemerintahan Indrawarman antara abad IX-X, pembangunan Angkor Tom bergulir kembali.

Penataan istana terasa lebih lengkap karena berdiri juga candi-candi, menara-menara dan dinding kota. Keindahan bangunan ini akhirnya terselesaikan tatkala tampuk kepemimpinan beralih ke Raja Suryawarman pada tahun 1112-1152. Aksentuasi terakhir yang digoreskan Raja Suryawarman terasa lebih lengkap oleh keindahan Angkor Wat.
Gerbang Angkor Wat tersusun hampir serupa dengan candi Prambanan di ranah Jawa. Hanya saja di dalam bangunan candi ini, terdapat pilar-pilar besar yang menopang bangunan secara tegap. Diantara ruang-ruang lengang Angkor Watt terduduk sebuah patung besar. Tak sekadar bagian penghias candi patung ini pun menebarkan aroma magis area pemujaan. Sementara relief-relief yang terdapat pada dinding candi mengalirkan sebuah cerita. Suatu Legenda Mahabharata dan Ramayan yang dituturkan untuk menyelaraskan kedalaman filosofi hidup.

Pun sebagai tempat tinggal sang pencipta tempat ini selalu dikawal oleh biksu-biksu suci. Berbalut busana sederhana mereka membimbing umatnya mereguk ranum Nirwana. Kendati tak bisa dipungkiri, ada kalanya mereka juga muncul apa adanya. Karena pada dasarnya mereka tetap membawa satu sisi manusia biasa.

Foto. www.abbruscatonotaio.com

Monday, November 3, 2008

Pangeran Charles kamera IR dan abal-abal.com


Sabtu 1 November 2008 lalu ada sebuah pengalaman menarik, lucu, menyenangkan sekaligus sedikit menebarkan harapan. Pada hari itu saya dan teman pewarta foto majalah GATRA tengah melakukan perjalanan iseng atau dalam bahasa kerennya hunting foto untuk sekadar menambah koleksi foto kita. Tujuan pertama kita adalah taman prasasti mengingat di sana banyak sekali obyek bagus apalagi kalau diambil dengan kamera Infra Red (IR). Sampai di taman prasasti mulailah kita mengambil gambar. Sampai secara tidak sengaja saya menemukan sebuah nisan, dengan patung seorang malaikat tengah berdoa bertuliskan Soe Hok Gie . Banyak tanda tanya di benak saya apa benar Soe Hok Gie dimakamkan di tempat tersebut.

Terlepas itu benar atau tidak yang jelas saya agak banyak mengambil frame dengan obyek nisan Soe Hok Gie, karena bagaimanapun Soe Hok Gie punya keistimewaan tersendiri di mata saya. Bahkan karena peristiwa tersebut saya jadi tertarik lagi untuk mencari tahu di mana sebenarnya Soe Hok Gie dimakamkan. Ternyata menurut sebuah artikel di kompas.com, kuburan dengan batu nisan bertulis Soe Hok Gie 17 Desember 1942 16 Desember 1969 tersebut memang bukan kuburan asli Gie. Akibat pembangunan gedung perkantoran baru yang menyempitkan lahan makam dan penataan ulang makam oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun 1975, kuburan Gie yang asli telah hilang entah di mana.

Kembali lagi ke soal cerita hunting hari itu, selepas dari taman prasasti acara hunting kita lanjutkan ke Masjid Istiqlal. Pemilihan Istiqlal sebagai lokasi selanjutnya sebenarnya terbilang mendadak dan tidak sengaja karena tujuan awal kita justru gedung-gedung tua di kota. Sesampainya di Istiqlal kita menemukan sesuatu yang lain karena banyak polisi ada di sana. Penasaran kami pun bertanya, “Kok banyak polisi ada apa pak,” tanya teman saya. Salah satu polisi tersebut menjawab bahwa akan ada Pangeran Charles berkunjung ke Istiqlal. Teman saya bertanya lagi, “Tapi masih boleh sholat ke dalam kan?” Dengan tersenyum polisi tersebut menjawab boleh. Kemudian masuklah kita ke dalam dan sholat.

Seusai sholat kita melihat sejumlah wartawan bahkan kita kenal beberapa dari mereka. Mengingat tujuan kita memang tidak untuk memotret kunjungan pangeran Charles kita tenang-tenang saja apalagi kita juga tidak memiliki ID card khusus yang tampaknya disediakan oleh pihak Istiqlal. Tapi pada saat pangeran Charles datang kita melihat ada celah dan bisa nimbrung motret. Maka ikutlah kita beraksi. Kita tentu memotret dengan kamera seadanya tanpa flash segala macam, apalagi saya bekalnya cuma kamera IR. Tapi karena tidak ada beban justru kita mendapat gambar yang bagus, teman saya dapat angle yang menarik dengan memanfaatkan lampu flash teman-teman yang lain. Sedangkan saya mendapatkan lokasi yang lumayan enak. Ketika teman-teman wartawan dan pewarta foto lain masih terus mengejar pangeran Charles untuk mendapatkan berita dan foto terbaik kitapun memilih mundur.

Pada saat mundur kita mendapat pertanyaan lucu dari salah satu orang yang sedang mengaji di masjid tersebut,”Ada orang gila masuk masjid yang ya kok ribut-ribut?” Dengan sedikit tertawa kita menjawab,”Orang gila gimana ada pangeran Charles bu,” jawab kita. Mendengar jawaban kita sang ibu tadipun menghentikan ngajinya dan ikut-ikutan ngejar pangeran Charles. “Ada-ada saja, padahal saya mau motret waktu dia ngaji gara-gara pangeran Charles malah nggak jadi,” ujar teman saya. Pangeran Charles kemudian terlihat berdiskusi serius dengan beberapa pejabat masjid dan tokoh islam salah satunya adalah Din Syamsudin.

Saat itulah kita melihat foto-foto hasil jepretan sembari tertawa-tawa.Teman saya bilang kalau tadi motretnya dalam rangka kerja pasti hasilnya tidak sebagus sekarang. Sedangkan saya bilang fotografer Indonesia mana yang punya foto pangeran Charles tapi IR untuk sekarang ini. Bahkan fotografer sekelas Darwis Triadi atau pewarta senior seperti Enny Nuraheni (yang saat itu juga ada) saat ini juga belum punya. Saya dan teman saya lantas tertawa. Seusai cukup tertawa-tawa kitapun langsung pulang karena haris sudah semakin sore. Sampai di luar ternyata pangeran Charles juga sedang keluar saya dan temanpun kembali ikut memotret tapi kini kita tidak dapat hasil yang bagus mengingat sudah banyak orang, pengawalnnyapun lebih ketat. Ketika para pewarta foto masih berebut foto sayapun memutuskan mundur. Pada saat itu ada seorang bapa-bapak bertanya pada saya. “Wartawan mana mas?” secara spontan sayapun menjawab, “Abal-abal.com.”

Bapak-bapak itupun bengong dan bingung sayapun menimpali lagi,”Wartawan abal-abal pak.” Mendengar jawaban saya bapak-bapak itupun tersenyum. “Wah saya kira wartawan beneran, tapi saya doakan semoga beneran jadi wartawan abal-abal.com,” ujar bapak-bapak tadi sembari berlalu. Mendengar jawaban tadi saya justru yang terbengong-bengong. Saya lantas berpikir biasanya kalau ada orang yang berdoa secara nothing to lose malah diijabah Allah. Sayapun berpikir siapa tahu doa bapak-bapak tadi bisa menjadi kenyataan. Siapa tahu beberepa waktu ke depan justru ada berita Abal-abal.com: Exclusive interview with Prince Charles. Dan kalau itu memang terjadi semoga saja saya bisa jadi ownernya atau pemimpin redaksinya. Paling apes ya jadi redaktur pelaksana lah. Nah kalau memang abal-abal.com jadi ada teman-teman yang mau bergabung dengan saya…?????