Wednesday, December 10, 2008

Cangkir Kecil Yang Ingin Bercerita



Kehadirannya mampu memberi panorama berbeda pada ranah musik tanah air. Ketika dia bercerita dengan musiknya itu biasa tetapi bagaimana saat Yuni merepresentasikan dirinya lewat sebuah buku.

Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan untuk mendamaikan hati yang gundah, terapi rekreatif bahkan bisa menumbuhkan jiwa patriotisme. Rangkaian dari tiap-tiap nadanya terkadang lebih bisa bercerita ketimbang kalimat terpanjang yang pernah disusun seseorang. Namun ada kalanya musik hanya bunyi kosong dan hampa belaka saat diwujudkan tanpa hadirnya sebuah jiwa. Memang dibutuhkan sosok dengan level tertentu agar bisa membawa musik dan lagu tersebut lebih punya rasa. Dan Yuni Shara bisa melakukannya.

Nama lengkapnya Wahyu Setyaning Budi, sosok imut yang bisa menempatkan kepopulerannya dengan interprestasi berwarna di benak masing-masing masyarakat. Orang-orang diberi ruang untuk mengenalnya dengan “wajah” beragam. Entah sebagi kakak dari seorang diva pop terkenal, mantan istri pengusaha, pelantun tembang melankolis tempo dulu, pemilik suara lembut sampai sosok penyanyi bertubuh mungil. Tapi diantara semua “berkah” tersebut dia tetap menonjol sebagai seorang penyanyi berkualitas yang hangat menyapa siapa saja. Kehangatan itu pun terasa saat dirinya menceritakan ihwal buku dan album guna menandai tetapak perjalanan usianya yang ke 35, Yuni beberapa waktu lalu. ”Judul albumnya Yuni Shara 35, dan untuk bukunya 35 Cangkir Kopi Yuni Shara,” paparnya diiringi tawa kecil.

Konteks untuk mencapai titik keberhasilan bagi masing-masing orang tentu berbeda, baik dari sisi pemaknaan maupun kenyataan. Pun sama halnya dengan Yuni dalam meretas jalan suksesnya. Diapun harus menyusuri lorong panjang permainan hidup yang terkadang tersenyum sinis atau manis terhadap dirinya. Tak berlebihan jika idiom cangkir digunakan untuk merefleksikan seorang Yuni dalam bermetamorfosis menjadi perempuan matang. Karena untuk membuat cangkir diperlukan tempaan dan pemanasan tinggi sebelum bersinar dan memiliki tampilan bagus. ”Dan itu sedikit banyak menggambarkan perjalanan hidup saya, yang sering menerima pengalaman pahit dan berat,” ujar ibu muda ini.

Abstraksi cangkir sendiri menurut Yuni adalah benda yang tidak perlu dipegang dengan keseluruhan tangan, tapi cukup usefull dalam mengusung tetes air kesejukan. “Kita cukup menggunakan dua jari kita saja untuk minum dari cangkir,” ujar perempuan kelahiran 3 Juni 1972 ini. Adapun sosok Yuni memang selalu bisa memberi kedamaian kepada teman-temannya. Menurut Tamara, Yuni tak pernah lelah meluangkan waktu sempitnya untuk teman dan saudaranya. Meski ada kalanya kerapuhan juga datang mendera.

Setidaknya gambaran itu terlihat saat Yuni membuka tirai kesedihannya dalam susunan kalimat sendu yang dia tulis di bukunya,” “Sebenarnya jenis perempuan macam apa aku ini tidak menjerit di kala sakit, tidak bergerak di kala memang waktunya harus pindah. Aku sebenarnya sudah sering menjerit tapi hanya di dalam hati, sampai aku sendiripun gak pernah denger suara hatiku sendiri.”

Di tengah sekian banyak gundukan asa pada album dan buku barunya, ada juga harapan sederhana,” Anak-anak saya baru latihan membaca jadi buku ini bisa jadi media untuk belajar.” Sepucuk keinginan sederhana dari seorang Bunda laiknya kebanyakan kaum ibu. Hal ini kian menandaskan bahwa menyandang predikat sebagai orang terkenal tak membuat Yuni terus mengawang. Sesekali dia ingin menjadi manusia biasa. Sejenak rehat dalam lelap, mendekap erat cinta Cello Obient Siahaan Cavin dan Obrient Salomon dua permata hatinya.

Tuesday, December 9, 2008

Fotografi Panggung


Gambar dari fotografi panggung harus bisa merepresentasikan suasana panggung dengan karakter yang kuat tanpa harus kehilangan nilai artistik sebuah foto.

Dalam siraman lampu beraneka warna wajah cantik beyonce dan liukan tubuh indahnya menggoda, secara sempurna berhasil dieksekusi dan disajikan dalam bentuk sebuah foto. Sang fotografer juga sangat jeli dalam mengexplore obyek bidikannya. Sehingga hanya lewat satu gambar seolah dia bisa menggambarkan seluruh pertunjukan Beyonce tersebut.

Fotografi panggung memang salah satu cabang fotografi yang unik. Karena saat terjun mendalaminya banyak faktor yang harus dikuasai di luar teknik fotografi itu sendiri. Seperti diungkapkan oleh Pinky Mirror, fotografer yang telah lama akrab dengan seluk beluk dunia fotografi panggung. “Untuk menghasilkan fotografi panggung yang baik pengetahuan fotografi saja tidak cukup, dibutuhkan pendekatan-pendekatan lain sebagai bekal tambahan,” tukasnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan lain pemahaman akan bentuk dan situasi pertunjukan yang akan difoto.

Karena dalam sebuah pertunjukan banyak aspek yang membentuknya mulai dari dekorasi panggung hingga penempatan fotografer itu sendiri. Jika buta sama sekali dengan kondisi tersebut tentu kita bisa mengalami sedikit kesulitan. “Karena itu sebelum melakukan pemotretan kita perlu mencari informasi sebanyak-banyaknya,” ujar Pinky. Salah satunya bisa dilakukan dengan cara mengikuti geladi resik (GR) sebelum pertunjukan. Bagaimanapun juga kondisi pertunjukan sangat unpredictable. Dengan persiapan matang berarti kita telah berada satu langkah di depan karena telah punya formula antisipasinya.

Di sisi lain dengan melakukan survei kita juga terbantu untuk membuat komposisi foto. Satu hal lagi yang harus dipahami dalam fotografi panggung sebagian besar dari obyeknya adalah bergerak. “Ada juga momen yang tak banyak gerak, tapi biasanya tak sebagus momen yang obyeknya gerak,” tegas Pinky. Selain itu dalam fotografi panggung kebutuhan lighting juga tidak bisa kita atur. Jadi kita harus siap dengan peralatan yang ada. Ketika kondisi tata cahaya minim mungkin bisa disiasati dengan ISO tinggi dengan tetap menggunakan speed lambat. Akan tetapi hal ini juga harus ditambah kemampuan ekstra dari fotografer, baik dari segi timing melepas rana maupun kemampuan hand-held yang baik.

Sementara dari segi peralatan unsur terpenting yang harus dipersiapkan adalah lensa. “Sebaiknya membawa lensa dengan bukaan 2.8 atau lebih besar. “Saya biasanya pakai 17-55/2.8 dan 70-200/2.8 serta dibantu 12-24/4,” tegas Pinky. Selain itu jika diperlukan dan memungkinkan ada baiknya menggunakan monopod. “Walau saya sendiri dulu juga nggak memakainya, terutama untuk lensa di bawah 300mm,” tambah Pinky lagi.

Sedangkan untuk tekniknya sendiri, Pinky menyarankan untuk menggunakan open lens. Dalam hal ini rata-rata f-nya adalah 2.8. Dengan sendirinya kecepatan akan ikut, tergantung sumber pencahayaan. “Menurut saya ISO 800-1600 sudah ideal, dan jangan takut sama noise. Foto yang bagus biarpun noisy tetap saja bagus. Sesekali dicoba bermain panning, atau double exposed,” ujar Pinky. Tiap pemotretan panggung pasti mempunyai momen dan nuansa berbeda, namun ada beberapa kunci yang harus dipegang sehingga dalam tiap kesempatan tetap bisa mendapatkan hasil yang bagus. “Jangan cepat puas, coba terus cari angle-angle yang berbeda,” tambah Pinky lagi.

Lalu bagaimana ketika saat memotret kita berada dalam posisi yang kurang menguntungkan? Jalan keluar terbaik adalah jepret beberapa gambar dulu dan kalau bisa pindah lokasi. “Tapi jika tidak bisa pindah lokasi ya sudah terima nasib aja,” canda Pinky sambil tertawa. Dalam kasus tertentu Pinky mencontohkan saat memotret konser Beyonce, dan posisi fotografer media ditaruh paling belakang. Mengandalkan lensa yang ada (70-200) dia memilih untuk mengambil foto suasana panggung dengan bantuan giant scree.”Hasilnya standar, tapi lumayan masih bisa dipakai untuk editorial,” pungkasnya.



Berikut beberap tipsdari Pinky mirror untuk melakukan pemotretan panggung.
1. Membawa CF/SD card sebanyak mungkin.
2. Mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, misalnya:
-Cari tahu berapa lagu yang akan dibawakan hingga berapa kali artis ganti baju.
-Dari mana openingnya dan seperti apa begitu juga dengan closingnya.
-Pelajari adegan-adegan penting sekiranya ada.
-Pahami kondisi panggung dengan menyempatkan diri mengikuti geladi resik.
-Pelajari denah panggung dan seat layoutnya.
3. Kalau segerombolan fotografer sudah berada di satu titik, usahakan jangan ikut di situ lagi. Kecuali memang ingin bermain safe. Bermain safe memang menghasilkan foto yang bagus, tapi belum tentu 'dahsyat'.
4. Jangan pakai baju yang berwarna mencolok, apalagi sok naik ke samping panggung.

foto.detikhot.com

Thursday, December 4, 2008

Unik dan Penuh Kejutan





Kamera dengan basis teknologi digital memang menjanjikan sesuatu yang beda tapi bukan berarti kamera dengan basis teknologi yang lain tak menyimpan sensasi tersendiri, contohnya adalah kamera LOMO.

Memotret kini tak lagi sekadar bagian dari hobi tetapi telah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Adanya teknologi digital yang memudahkan segalanya membuat semua orang bisa menjadi pelaku dan penikmat fotografi dalam satu waktu. Fotografi seolah telah berubah menjadi sesuatu yang “instan”. Namun diantara gegap gempitanya teknologi digital beserta semua perangkat di dalamnya ternyata ada sisi lain dari fotografi yang riaknya kurang begitu terlihat. Dialah Lomografi sebuah teknik atau aliran fotografi yang mengabaikan segala aturan, pakem, atau batasan-batasan dalam fotografi secara umum.

Kenapa demikian? Sebab para fotografer yang menggunakan teknik lomografi atau biasa disebut lomografer seakan berkarya dengan mematahkan teknik fotografi yang berlaku. Mereka memotret tanpa memperhitungkan rana, diagfragma, shutter, pencahayaan, ataupun detail lain yang selama ini menjadi panduan dasar fotografi. Hal tersebut dimungkinkan karena para lomografer tersebut bekerja dengan bantuan kamera bernama Leningsradskoye Optiko Mechaninicheskoye Obyedinenie atau biasa disebut LOMO.

Kamera ini awalnya diproduksi Uni Soviet pada tahun 1982 atas ide Michail Panfilowitsch Panfiloff, direktur dari Lomo Russian Arms and Optical Factory dan masih berbasis pada teknologi film rol seluloid. Lomo sendiri merupakan nama perusahaan Rusia yang membuat perangkat optik semacam kamera, mikroskop dan teleskop. Di era Perang Dunia (PD) 2, Lomo merupakan pemasok peralatan perang bagi mililiter Rusia. Bahkan ketika itu, hampir semua agen khusus Rusia menggunakan perangkat optic dari lomo pada saat menjalankan tugasnya.

Adapun kamera Lomo yang pertama kali dibuat adalah Lomo Kompakt Automat atau lebih dikenal dengan sebutan LC-A. Kemudian dalam perkembangannya jenis kamera lomografi makin beragam. Dimulai dari berlensa empat atau biasa dikenal dengan sebutan Lomography Supersampler Camera, yang berlensa sembilan atau biasa disebut Pop 9. Selain itu ada juga beberapa seri lain seperti: Holga kit, Colorsplash camera, Horizon 202, Pop 9, Action sampler, Cybersampler, Super Sampler, 3D Camera set, Smena 8 dan Seagull TLR.

Kamera Lomo memang menyimpan banyak keunikan jika dibandingkan dengan kamera kebanyakan. Bak menyimpan misteri tiap frame yang dihasilkan oleh kamera Lomo selalu menampilkan kejutan mulai dari warna hingga hal-hal menarik lainnya. Konon hal ini disebabkan oleh lensa lomo yang katanya memiliki cacat. Namun kelemahan inilah yang menjadi kelebihan dari kamera lomo itu sendiri. Akibat dari cacat tersebut hasil jepretan kamera lomo menjadi sangat khas dan unik. Kita bisa menemukan warna khas lomo yang sulit dihasilkan oleh kamera biasa.

Di bagian tertentu seperti sudut frame, terkadang muncul warna gelap yang sehingga mampu membentuk kesan artistic. Ketika kita melakukan pemotretan dalam kondisi pencahayaan yang normal bisa saja muncul unsur warna biru, merah kuning danwarna lainnya. So amazing. Seperti contohnya kamera LOMO LCA 35 mm ini. Dengan lensanya yang tidak biasa maka dia sanggup menghadirkan distorsi pada bagian tepi gambar sedangkan gambar yang jernih ada pada bagian tengah.

Hebatnya lagi, kita bisa menghasilkan beberapa frame sekaligus hanya dengan sekali jepret. Hal ini disebabkan oleh lensa dalam kamera lomo yang tidak hanya satu buah seperti disebutkan di atas bahwa dalam satu buah kamera lomo bisa terdapat empat hingga sembilan lensa sekaligus. Kejutan lainnya, setiap kamera lomo seolah mempunyai “otonomi” masing-masing dengan kelebihan sendiri-sendiri. Jadi antara stu kamera dan kamera lainnya dipastikan menyimpan kejutan sendiri sewaktu digunakan untuk membidik obyek yang sama dan dalam waktu yang sama dan dengan teknik yang sama pula.

Tak berhenti di situ kamera lomo juga sangat adaptif digunakan untuk bereksplorasi. Salah satunya digunakan untuk melakukan eksperimen dengan menggunakan film slide kedaluwarsa. Film tersebut kemudian diproses seperti mencuci film biasa atau istilahnya cuci crossing. Hasilnya adalah sebuah foto dengan warna yang tak lazim dan aneh. Hasil-hasil mengejutkan semacam inilah yang membuat para lamografer semakin tertantang membuat hal-hal yang lain dan baru. Bahkan beberapa lomografer tak segan-segan memodifikasi kamera meraka dengan hal-hal yang ekstrim.

Lomografi juga menghadirkan gaya fotografi yang berbeda. Gayanya lebih kasual dan dekat dengan gaya snapshot. Seperti diceritakan di atas bahwa lomografi selalu memberikan sentuhan lain oleh karena itu gangguan foto seperti over-saturated colors, lens artifacts, dan cacat gara-gara exposure justru lebih ditunggu. Beragam gambar dengan efek yang sifatnya abstrak menjadi poin paling penting, dan menjadi hal paling dinantikan. Selain itu kamera lomo juga menyimpan kelebihan yang lain yaitu bentuknya yang relative ringkas sehingga untuk dibawa ke mana saja sangat mudah dan nyaman. Apalagi kamera lomo juga mempunyai kemampuan yang cukup bagus untuk mengambil gambar dengan cahaya rendah.

Memang, hasil memotret dengan kamera lomo tidak bisa langsung dilihat seperti kamera digital. Tapi disitulah seninya karena kita harus menunggu sampai proses pencucian selesai. Dan begitu melihat hasilnya kita mendapat kejutan tersendiri. Satu hal lagi yang patut dicatat harga kamera lomo tak terlampau mahal dan untuk menggunakannya tak perlu dituntut kemampuan penguasaan teknik fotografi secara mendalam. Saat ini di beberapa kota besar juga sudah banyak muncul komunitas pecinta kamera lomo atau lomografer seperti laiknya komunitas pecinta fotografi lainnya. Bagi Anda pecinta kejutan tak ada salahnya mencoba keunikan kamera ini.


foto dari www.lomography.com
karya SUGIYAMASATOMI
berjudul Sorrounded by the trees and sky

Tarutung Sebuah Cerita Dari Utara Andalas


foto dari photobucket.com




Di Kota Tarutung ibukota Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara ini tertinggal jejak masa lalu yang membentuk peradaban batak.

Kabupaten Tapanuli Utara memiliki berbagai potensi alam, budaya dan sejarah yang dapat digali serta dilestarikan untuk menjadi salah satu aset dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata. Potensi tersebut sangat berhubungan dengan daya tarik dan nilai obyek-obyek wisata yang tersebar di Tapanuli Utara yang terdiri atas obyek wisata rohani, alam, sejarah serta hutan.

Keindahan perjalanan menuju Tarutung ibukota Kabupaten Tapanuli Utara mulai terasa saat mendekati Siantar. Apalagi saat memasuki penggalan sekitar Danau Toba, di daerah Prapat. Setelah hampir lima jam menempuh perjalanan dari Medan akhirnya sampai juga kaki ini menjejak kota Tarutung.Nuansa kebesaran pulau Andalas masih terasa kental memagari kota ini. Berdiri dalam jajaran daerah Rura Silundung serta dikelilingi oleh pegunungan hijau yang berdiri kokoh Tarutung memulai cerita.

Legenda kepahlawanan Sisingamangaraja menjadi cerita pembuka yang susah dipisahkan dari daerah ini. Kota Tarutung terdiri dari satu wilayah Kecamatan yang dibelah oleh aliran Sungai Sigeaon. Di kota ini ditemukan kantor Pusat HKBP lembaga gereja terbesar di Asia Tenggara. Tarutung juga dikenal sebagai daerah wisata rohani bagi kaum nasrani. Bukit Monumen Salib Kasih di puncak Dolok Si Atas Barita adalah salah satu tempat yang biasa dituju.

Sekitar 38 km dari kota Tarutung terletak lokasi panorama Huta Ginjang. Berada di Huta Ginjang serasa di obyek wisata Sipinsur Desa Pearung Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan. Karena dari kedua obyek wisata itu terlihat langsung enam kabupaten Taput, Humbang Hasundutan,Tobasa, Samosir, Dairi dan Simalungun. Lokasi Huta Ginjang seolah tertanam di angkasa raya. Karena dari sana kita bisa leluasa memandang Pulau Samosir, Danau Toba, Pulau Sibandang dan areal persawahan serta perumahan di pinggiran Danau Toba.

Keaslian wajah Tarutung makin terasa saat memasuki perkampungan, tempat para penduduk asli merenda hari-hari mereka. Interaksi sosial yang mereka jalin terbalut oleh kekentalan budaya asli yang relatif belum banyak tergores. Senyum ramah tak henti menyapa pada siapapun yang datang menyibak suasana desa mereka. Suasana ceria tetap tergaris jelas pun saat mereka tengah bekerja atau sekadar bercanda bercengkrama bersama keluarga.
Tatkala melewati sebuah bukit, dari balik-balik rerimbunan pohon dan tanaman perdu yang banyak tumbuh di pinggir jalan tampak hamparan padi mengkilat kuning. Tak terbayangkan seandainya sinar matahari pagi tengah jatuh di permukaan lukisan alam yang tenang itu. Meski belum sempat merasakannya tetapi keheningan sore itu tetap membiaskan eksotisme Tarutung. Cerita perjalanan ini seolah ditutup oleh keindahan mentari saat mulai menyusup di rerimbunan cakrawala dan meninggalkan garis ungu di langit.

Monday, December 1, 2008

Sigit Pramono dan Hobi Yang Menyeimbangkan







Fotografi bagi Sigit tak sekadar hobi. Dia berharap lewat karya-karyanya dia ingin memberikan inspirasi kepada masyarakat, agar lebih peduli terhadap alam.

Keseimbangan biasanya sanggup menghasilkan sebuah harmoni. Karena lewat alur yang berimbanglah maka antara satu item dengan item lainnya bisa saling berkait dan mengisi satu sama lain. Maka tidak heran jika seorang seorang Sigit Pramono juga menerapkan filosofi keseimbangan dalam menjaga ritme kesehariannya. Duduk sebagai Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia, Tbk seringkali menempatkan dirinya pada sebuah rutinitas pekerjaan yang lebih “memaksa” sisi rasionalitasnya bekerja. Karena itulah diperlukan media pelepas stress sebagai penyeimbang bagi emosinya.

Diantara media pelepas stress yang ada Sigit menjatuhkan pilihan pada fotografi, sebuah dunia yang telah diakrabinya semenjak SMA. Lalu mengapa fotografi? Menurut Sigit ada kenikmatan yang tidak bisa dijelaskan ketika menjalani hobi ini. “Enaknya itu gimana ya, pokoknya setiap kali jari menekan tombol shutter ada sesuatu yang mengalir langsung ke hati,” ujar Sigit sembari tersenyum penuh makna. Meski berperan sebagai hobi, bagi Sigit fotografi tidak hanya berperan sebagai penuntas dahaga emosi saja. Ada kalanya pada level tertentu Sigit menjalankan hobinya ini secara serius.

Mungkin masih lekat di ingatan kita bagaimana pria berkacamata ini sukses mengadakan pameran foto yang menghasilkan rekor penjualan fastastis hingga Rp 5,55 miliar. Meski demikian ketika ditanya soal tersebut Sigit hanya memberikan senyuman saja tanpa jawaban ekspilist. Bahkan kemudian dia memberikan memberikan pernyataan lain “Saya ingin melakukan pameran lagi tapi waktunya belum bisa dipastikan,” ujarnya. Mengadakan pameran sendiri bagi Sigit merupakan wadah untuk menunjukkan ekspresi karyanya dan bukan untuk mencari keuntungan. Karena semua hasil pameran karya-karyanya langsung disumbangkan ke yayasan pendidikan yang dimiliki Bank BNI.

Menempatkan Sigit sebagai seorang fotografer maka saat ini dia lebih dikenal sebagai fotografer yang pandai membingkai obyek-obyek landscape dan panorama. “Sebenarnya saya juga senang dengan obyek human interest,” tambah Sigit. Foto-foto yang ditampilkan oleh Sigit memang mempunyai kesan yang kuat pada sisi komposisi dan pencahayaan. Luksian-lukisan alam yang terhampar mampu dialihkan lalu dibingkainya ke dalam foto dengan porsi yang pas, bahkan saat obyek itu harus “dipotong” sekalipun. “Obyek panorama atau human interest sesungguhnya tidak bisa diatur-atur dan disinilah kepekaan kita diuji,” ujar Sigit. Dan ada kalanya untuk mendapatkan sebuah gambar yang bagus Sigit harus sabar menunggu sampai obyek yang diinginkannya melambaikan guratan-guratan ajaib. “Saya pernah motret itu senja semburatnya bukan hanya jingga, tapi juga ungu, indah sekali,” ujar Sigit sambil menunjukkan foto tersebut.

Lalu pada saat ditanya apakah untuk mematangkan semua teknik fotografinya Sigit pernah belajar secara formal? Dia menjawab tidak. “Saya lebih banyak belajar sendiri, praktik, baca buku, diskusi dengan rekan-rekan yang punya hobi fotografi,” tukasnya. Dan menurut Sigit pada dasarnya semua orang bisa memotret. Meski selanjutnya akan ada hal-hal yang membedakan terutama soal cara memandang sebuah obyek. “Memang ada beberapa orang yang dibekali talenta. Tapi bagi saya yang penting adalah berlatih, mengasah teknik dan rasa,” ujar Sigit.

Untuk mencari obyek yang menarik pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 14 November 1958, ini acap kali memanfaatkan waktu senggang di akhir pekan atau disela-sela tugasnya ke luar negeri. Pasar ikan di Muara Karang atau Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi tempat yang sering dikunjungi. “Saya pernah juga ke Papua,Tanatoraja, Lombok, NTT, Bali dan beberapa daerah di Sumatera,” ujar pemilik kamera pertama Asahi Pentax K-1000 ini. Puncak pegunungan di Amerika yaitu Carylab juga pernah disinggahinya. Bahkan menurut Sigit dia mendapatkan gambar yang sama sekali di luar perkiraannya. “Waktu itu kan musim gugur, jadi saya mengejar keindahan warna-warni daun pada musim tersebut. Tetapi pas sampai sana sudah mendekati musim dingin jadi terlambat” ujar Sigit.

Tetapi kenyataan tersebut justru memberikan pengalaman menarik bagi dirinya. Air-air yang sudah mulai membeku ternyata mampu menyuguhkan pemandangan tersendiri. “Ternyata di sana setiap waktu, punya keindahan sendiri-sendiri. Musim salju pun bisa terlihat luar biasa,” ungkap Sigit. Namun bukan berarti Sigit tidak pernah mengalami kejadian naas saat berburu foto. Kejadian di tembok China bukan hanya terekam lekat di memorinya tetapi juga menyisakan sakit pada kakinya. “Saya salah mendaratkan kaki, akibatnya samapai sekarang kalau buat nekuk kaki saya masih sakit,” ujar Sigit sembari memegangi kakinya.

Perkembangan teknologi dengan perangkat lunak fotografi juga tidak lepas dari pengamatan Sigit. “Teknologi memang akan terus berkembang tapi secara esensi karena kamera itu hanya alat dan semuanya kembali kepada kita,” ujar Sigit. Pun demikian pula dengan perkembangan digital imaging yang terus meluas akhir-akhir ini. Menurut Sigit membuat gambar menjadi lebih bagus itu tidak menjadi soal asal jangan memanipulasi. “Makanya saya tetap mau jadi fotografer bukan photoshoper,” ujar Sigit bercanda. Sigit juga masih menyimpan keinginan bahwa lewat foto perhatian pemerintah maupun masyarakat bisa lebih aware dengan alam. “Bicara soal fotografi di Amerika, fotografer bisa “memprovokasi” pemerintah sehingga memperhatikan taman nasional yang dulunya tidak diperhatikan,” ujar Sigit.


foto sigit pramonophotography.com

Friday, November 14, 2008

Gusti Allah Tidak "nDeso"

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi.
"Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal,tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya :
kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita
cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~

Saturday, November 8, 2008

Behind the story

Tulisan yang aku posting ini sebenarnya salah satu naskah yang aku kirimkan untuk sebuah lomba dengan tema lingkungan. Tulisan biasa bahkan cenderung bias tidak jelas tidak punya visi dan tujuan pasti. Seperti biasa laiknya orang yang suka-suka cari alasan untuk menutupi kekurangan pun aku juga demikian. Dimulai dari pengerjaannya yang cuma 1 hari padahal panitia memberi waktu tiga untuk menulis dan mengumpulkan bahan. Dua bulan plus 29 hari tidak aku manfaatkan. Alasan klasiknya sibuk padahal maleeees.

Tapi dibalik ini semua ada sedikit hal mneyenangkan karena gara-gara naskah ini aku jadi sedikit intens berhubungan dengan dewi lestari meski cuma lewat email. Kenapa bisa demikian? karena hampir naskah yang aku biki inspirasinya dari tulisan soal lingkungan yang dia buat. Jadi sebelum menulis aku minta ijin dari dia, dan dari situ kita jadi lumayan intens berhubungan. Lalu bagaimana naskah yang hancur itu inilah dia....

Memupuk Harapan Untuk Bumi Lebih Indah

Tak ada yang lebih menggairahkan dalam hidup ini selain tetap menyimpan suatu harapan. Bak sebuah oase di tengah gersang, harapan selalu dapat melahirkan keajaiban tak terduga-duga, menggerus pesimisme yang menumpuk hingga membawa kita pada jutaan ketakjuban. Kita percaya bahwa harapan yang ditunjang oleh keinginan kuat mampu mereduksi segala kemuskilan. Membuat sesuatu yang mengawang menjadi sesuatu yang nyata. Maka tak terlampau berlebihan jika kita juga meletakkan harapan sebagai tiang besar untuk menyangga kelangsungan bumi ini. Sebuah harapan untuk membuat wajah bumi ini kembali tersenyum senang, bahkan jauh lebih riang. Lalu harapan seperti apa yang bisa kita letakkan untuk memperpanjang masa depan bumi ini?

Harapan akan terpantiknya kesadaran dari tiap-tiap individu untuk berperan bersama menyelamatkan bumi dengan cara masing-masing sesuai kapasitas masing-masing. Harapan agar semakin banyak kebijakan-kebijakan dari para pemegang kendali Negara yang meletakkan pertimbangan ekologis sebagai rujukan utama. Terbitnya kesadaran dari setiap individu akan menjadi modal yang kuat untuk menyokong gerakan-gerakan “sporadis” yang selama ini terus diupayakan oleh para pecinta lingkungan tapi hanya menjadi riak kecil di tengah gelombang ketidakpedulian. Gerakan yang dimulai oleh kesadaran mempunyai potensi besar untuk berkembang. Bak sebuah percik api yang suatu saat bisa membara ataugelombang kecil yang bisa bermutasi menjadi tsunami.

Data-data yang menunjukkan betapa sakitnya bumi ini sudah terpampang di depan mata secara jelas dan gamblang. Hal ini seharusnya bisa menjadi motivasi bagi siapapun yang masih ingin menyelamatkan bumi ini agar tetap berputar pada porosnya. Kita bisa ambil contoh kerusakan lingkungan dari hutan-hutan yang ada di Indonesia. Ada sebuah catatan mencengangkan dari World Resource Institute (1997) bahwa hutan asli Indonesia ternyata telah raib sekitar 72 persen dalam jangka waktu yang sangat singkat. Catatan lain dari Kompas juga menyebutkan jika dalam periode tahun 2000-2005, seluas 5,4 juta hektar hutan Indonesia sudah terbabat dan menyisakan penderitaan bagi makhluk hidup yang ada di dalamnya termasuk manusia itu sendiri.
Padahal jika kita merenung sejenak mengingat romansa masa lalu betapa Indonesia dianugerahi alam indah subur yang menyejukkan. Negara kepulauan yang sanggup membelalakkan mata siapa saja karena bentangan hijau hutannya di sepanjang garis katulistiwa. Tanaman apa saja bisa tumbuh di sana. Bahkan menurut lagu, tongkat dan kayu pun bisa hidup. Belum lagi soal sumbangan hutan Indonesia bagi paru-paru dunia. Indonesia memiliki10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia juga memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Bahkan sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Sekarang apa yang tersisa. Hanya celah-celah tanah kerontang yang gersang, tandus, dan garang. Ironisnya, semua kerusakan tersebut kebanyakan disebabkan oleh tingkah polah manusia. Penebangan hutan yang serampangan dilakukan tanpa kendali. Faktor ekonomi diduga menjadi trigger paling besar yang mengakibatkan terjadinya deforestasi tersebut. Alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau; dan Banyuasin, Sumatera Selatan, adalah contoh sahih.
Tentunya dengan semakin berkurangnya jumlah hutan “sehat” di Indonesia, maka sebagian besar wilayah Indonesia menjadi kawasan yang rentan bencana. Tak heran jika rangkaian bencana seperti: kekeringan, banjir, tanah longsor kerap terjadi di beberapa kawasan Indonesia. Bakornas Penanggulangan Bencana (2003) melansir sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat 647 kejadian bencana di Indonesia melenyapkan 2022 korban jiwa dengan kerugian milyaran rupiah. Dan dari kejadian tersebut 85%-nya adalah bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Meskipun demikian, sikap mengkambinghitamkan orang lain sebagai pihak paling bertanggung jawab atas semua kejadian ini bukan sebuah sikap yang bijak. Sementara di sisi lain kita hanya menempatkan diri sebagai malaikat yang kalis dari dosa dan tak punya andil terhadap kerusakan alam ini. Alam dan lingkungan ini adalah bagian dari seluruh makhluk hidup yang ada di atasnya. Masalah yang di dalamnya juga merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi semua pihak tanpa terkecuali untuk menuntaskannya. Kalau mau jujur meruntut segala hal yang kita lakukan di bumi ini, pasti ada beberapa bagian dari tingkah kita yang memberikan imbas negatif terhadap lingkungan. Mungkin kita tidak menjadi bagian integral dari kumpulan maling kayu di tengah hutan Kalimantan atau anak buah dari para taipan hitam yang tanpa ragu melakukan illegal loging. Tapi kita pasti pernah melakukan aktivitas kecil yang secara tidak sengaja membuat bumi ini terengah-engah menyangga dampaknya.
Salah satu contohnya adalah saat kita membuang bungkus plastik dari makanan yang kita konsumsi. Perbuatan sepele ini ternyata sanggup membawa masalah bertele-tele. Sebagaimana kita tahu plastik adalah benda yang terbuat dari bahan yang sangat sulit diurai dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk musnah. Artinya kita memberikan pekerjaan rumah yang sangat panjang bagi bumi ini untuk menghapus jejak bungkus plastik yang kita buang. Lalu upaya apa yang bisa kita lakukan untuk sedikit mengurangi dosa kita dalam mendzalimi bumi. Langkah pencucian dosa bisa dimulai dari sesuatu yang ringan seringan kita membuang sampah dari bungkus plastik. Barangkali tak terlampau berat jika kita mau menggunakan listrik secara bijak, menghemat air, memisahkan sampah-sampah organik non organik, mulai mengurangi “konsumsi” plastik dan kegiatan berguna lainnya.

Apakah upaya kecil tersebut cukup memberikan dampak bagi kelangsungan bumi? Kita tidak pernah tahu. Tugas kita hanyalah berbuat sesuatu bukan bertanya tapi nihil tindakan dan respon. Lalu biarkan alam mengurai semua upaya kita dengan mekanismenya. Dan suatu saat bumi akan memberikan jawaban kepada kita di waktu yang tepat. Kita juga tak perlu terusik oleh sinisme yang mengemuka seperti pernyataan, “Apa arti perbuatan kita kalau kenyataannya kita bergerak sendirian, sementara orang-orang yang paling bertanggung jawab di luar sana tenang-tenang saja menjalani hidup.”

Saya sendiri tak terlampau terganggu dengan pernyataan-pernyataan seperti di atas. Karena intensitas saya mencintai bumi lebih disebabkan oleh kebutuhan diri sendiri. Saya masih ingin lebih lama tinggal di bumi ini dengan tenang. Saya masih ingin melihat anak saya bisa tersenyum tiap hari dengan asupan cahaya matahari yang sehat dan suplai oksigen yang memadai. Egois memang, tapi itulah cara terbaik bagi saya untuk terus membakar rasa peduli pada bumi yang terkadang pasang sesekali surut. Kecil memang tapi lebih baik ketimbang diam tak bergerak ke mana-mana. Meski di sudut lain saya tetap menyimpan harapan bahwa perbuatan kecil saya bisa menimbulkan sinyal positif yang bisa menyebar sekaligus memberikan vibrasi yang positif pula. Harapannya riak kecil yang kita lakukan sanggup menarik riak lain untuk berkumpul dan menciptkan sebuah gelombang besar.
Dalam skala lebih luas sebenarnya masih banyak hal yang bisa kita perbuat. Rajendra Pachauri, ketua badan PBB Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dalam konferensi persnya di Paris, 15 Januari 2008, mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk tidak makan daging, menggunakan sepeda sebagai alat transportasi atau menjadi konsumen yang hemat. Mengapa makan daging justru menjadi prioritas pertama? Menurut Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) produksi daging ternyata mengakibatkan nyaris seperlima dari efek gas rumah kaca. Mengapa? Itu terjadi karena pembuatan makanan ternak terutama hewan pemamah biak seperti sapi menghasilkan emit methane yang 23 kali lebih efektif mengakibatkan pemanasan global ketimbang karbondioksida dari asap kendaraan atau pabrik. Artinya masih banyak celah yang bisa kita gunakan untuk bergerak tinggal pilih yang mana sesuai dengan kapasitas kita untuk melakukannya.
Dari dalam negeri kita juga bisa belajar banyak dari kearifan lokal masa silam tentang cara nenek moyang kita menjaga harmonisasi hidupnya dengan alam. Seperti contohnya masyarakat Papua yang pantang merusak alam. Menurut mereka merusak alam sama dengan merusak budaya sendiri. Alam adalah tempat mereka hidup, menemukan falsafah hidup sekaligus mencari nafkah. Atau di Bali bagaimana para petani di sana melakukan “ibadah” sekaligus melakukan cocok tanam. Setap proses mulai menyemai hingga mengeringkan padi selalu disertai dengan rangkaian upacara. Tujuannya adalah untuk meminta restu Tuhan dan alam. Oleh karena itu merekapun takut melukai alam dengan cara yang tidak benar. Meskipun terlihat sederhana namun jika kita mau mencermati ternyata budaya kita kalah jauh dengan budaya nenek moyang kita. Mereka mampu memanfaatkan alam dengan tetap menjaga eksistensinya.
Bagi siapapun yang bisa melakukan gerak penyelamatan bumi dengan lingkup besar tentu lebih baik. Budaya untuk mencintai lingkungan ini juga sudah harus ditanamkan kepada anak-anak. Adapun pola dan cara yang digunakan tak lagi bercorak teoretis dan dogmatis tetapi lebih pada pendekatan interaktif dengan mengedepankan dialog. Kita juga harus menjadi contoh yang benar. Karena apa artinya kita mengatakan jangan membuang sampah sembarangan pada anak tapi kita masih melakukannya. Mengapa budaya cinta lingkungan hidup ini perlu ditanamkan pada anak-anak kita, karena kelak merekalah penentu kebijakan soal penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik
Terus menambah pengetahuan soal ekologi juga sebisa mungkin terus kita lakukan. Karena semakin banyak tahu maka kita semakin sadar ternyata betapa banyak perbuatan kita yang merusak dan sedikit sekali yang memperbaiki. Mengembalikan wajah bumi tidak gampang. Berbeda waktu kita merusaknya sangat mudah dan cepat. Karena itu kita perlu semakin banyak tahu, meresapinya lalu mengimplementasikan dalam keseharian hidup kita. Hidup semakin hari semakin mahal nilainya. Untuk melangkah maju manusia membutuhkan bekal kemampuan dan wawasan. Disamping ”daya rangsang” dan antusiasme guna mencipta ulang masa depan dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan kuantum untuk membuat perubahan.

Saya sadar tak mungkin bisa mengubah dunia ini sendirian, tapi bersama-sama sangatlah mungkin. Oleh karena itulah saya tak pernah berhenti berharap. Tapi berharap tanpa melakukan sesuatu sama saja menginginkan sesuatu tapi tak beringsut mengambilnya. Karena itu untuk memulainya kita awali dari mengubah diri kita sendiri. Jika kita mengibaratkan diri kita adalah sebuah lilin maka kita telah mulai mematikkan api sebagimana saya tulis di atas. Satu lilin memang hanya menerangi bagian kecil dari suatu ruangan tapi bagaimana jika jumlah lilin itu banyak. Nyalanya sungguh tak terpermanai bukan cuma terang tapi benderang. Lalu siapkah kita menjadi lilin untuk mengajak lilin-lilin lain lain menyala? Seharusnya demikian karena kalau tidak siap dari sekarang kapan lagi.

“There are two ways of spreading light:
to be the candle or the mirror that reflects it”
– Edith Wharton –

Wednesday, November 5, 2008

Keajaiban Kamboja dan Angkor Wat



Dari permulaan tahun 1300 sampai 1863, Kamboja dan Muang Thai seakan terikat dalam satu rumpun keluarga. Sehingga kebudayaan keduanya terkesan saling pengaruh-mempengaruhi.



Semua kamera terus mengerjap merekam warna-warni keajaiban Kamboja. Seiring kaki melangkah, ketakjuban seperti tak pernah jeda menyapa mataku. Sungguh tak terbayangkan jika semua keindahan ini pernah menjerit ngeri, oleh letupan mesiu dan raungan pesta-pesta senjata.
Kini siapa yang menyangka gulungan awan kedamaian terasa begitu rindang memayungi Kamboja. Tak tersisa lagi gambaran porak poranda akibat perang saudara. Rangkuman cerita sedih itu telah mereka letakkan pada salah satu sudut sejarah. Dengan pemerintahan yang tersistemasi dalam garis monarki konstitusional. Kamboja terus menggeliat berbenah mengikis sisa-sisa tirani kekaisaran Khmer.

Dalam tata geografisnya, Kamboja bersinggungan dengan Thailand di bagian barat, Laos di utara, Vietnam sebelah timur, dan Teluk Thailand di selatan. Dengan demografis tersebut tak heran jika entitas budaya ketiga negara ini hampir sulit dibedakan. Salah satunya terbersit pada keberadaan kendaraan sederhana bernama tuk-tuk. Meski tak sepenuhnya sama, namun pemilihan nama dan bentuk transportasi Kamboja ini hampir serupa dengan tuk-tuk di Thailand.

Pembedanya, khusus tuk-tuk Kamboja sengaja menonjolkan paduan antara dua item kendaraan yang hampir sejenis. Yaitu alat transportasi yang tak disentuh mordenitas (kereta kayu) dengan alat transportasi yang kental akan ciri kemajuan teknologi (motor). Hasilnya, sebagai alat transportasi dua item ini mampu mengisi celah antara nilai budaya tradisional dan modern.
Pada pojok wajah Kamboja yang lain tersimpan bangunan tujuh keajaiban dunia. Keajaiban itu terpresentasikan dalam sebuah maha karya bernama Angkor Wat. Bangunan ini memang tak hanya indah tapi juga tersusun oleh tiang-tiang relijiusitas. Karena bentuk dasar Angkor Wat adalah candi tempat persembahyangan guna memuja sang pencipta.

Angkor Wat tidak berdiri sendiri karena tertanam bersama candi-candi lain di dalam kemegahan komplek Angkor Tom. Dan di komplek Angkor Tom berjajar berdampingan bangunan suci umat Budha, Hindu-Siwa serta pemuja Wisnu tanpa saling menindih. Terkumpulnya ragam kepercayaan dalam satu tempat, lebih disebabkan oleh perjalanan waktu yang membentuknya.
Pada abad ke-9, ketika Raja Jayawarman berkuasa, dia berusaha menyatukan bagian negara-negara yang terpecah-pecah. Upaya ini dimanifestasikan dengan membangun istana serta kota di kawasan Angkor (Angkor Tom). Pembangunan besar ini tak bisa langsung rampung. Kemudian pada masa pemerintahan Indrawarman antara abad IX-X, pembangunan Angkor Tom bergulir kembali.

Penataan istana terasa lebih lengkap karena berdiri juga candi-candi, menara-menara dan dinding kota. Keindahan bangunan ini akhirnya terselesaikan tatkala tampuk kepemimpinan beralih ke Raja Suryawarman pada tahun 1112-1152. Aksentuasi terakhir yang digoreskan Raja Suryawarman terasa lebih lengkap oleh keindahan Angkor Wat.
Gerbang Angkor Wat tersusun hampir serupa dengan candi Prambanan di ranah Jawa. Hanya saja di dalam bangunan candi ini, terdapat pilar-pilar besar yang menopang bangunan secara tegap. Diantara ruang-ruang lengang Angkor Watt terduduk sebuah patung besar. Tak sekadar bagian penghias candi patung ini pun menebarkan aroma magis area pemujaan. Sementara relief-relief yang terdapat pada dinding candi mengalirkan sebuah cerita. Suatu Legenda Mahabharata dan Ramayan yang dituturkan untuk menyelaraskan kedalaman filosofi hidup.

Pun sebagai tempat tinggal sang pencipta tempat ini selalu dikawal oleh biksu-biksu suci. Berbalut busana sederhana mereka membimbing umatnya mereguk ranum Nirwana. Kendati tak bisa dipungkiri, ada kalanya mereka juga muncul apa adanya. Karena pada dasarnya mereka tetap membawa satu sisi manusia biasa.

Foto. www.abbruscatonotaio.com

Monday, November 3, 2008

Pangeran Charles kamera IR dan abal-abal.com


Sabtu 1 November 2008 lalu ada sebuah pengalaman menarik, lucu, menyenangkan sekaligus sedikit menebarkan harapan. Pada hari itu saya dan teman pewarta foto majalah GATRA tengah melakukan perjalanan iseng atau dalam bahasa kerennya hunting foto untuk sekadar menambah koleksi foto kita. Tujuan pertama kita adalah taman prasasti mengingat di sana banyak sekali obyek bagus apalagi kalau diambil dengan kamera Infra Red (IR). Sampai di taman prasasti mulailah kita mengambil gambar. Sampai secara tidak sengaja saya menemukan sebuah nisan, dengan patung seorang malaikat tengah berdoa bertuliskan Soe Hok Gie . Banyak tanda tanya di benak saya apa benar Soe Hok Gie dimakamkan di tempat tersebut.

Terlepas itu benar atau tidak yang jelas saya agak banyak mengambil frame dengan obyek nisan Soe Hok Gie, karena bagaimanapun Soe Hok Gie punya keistimewaan tersendiri di mata saya. Bahkan karena peristiwa tersebut saya jadi tertarik lagi untuk mencari tahu di mana sebenarnya Soe Hok Gie dimakamkan. Ternyata menurut sebuah artikel di kompas.com, kuburan dengan batu nisan bertulis Soe Hok Gie 17 Desember 1942 16 Desember 1969 tersebut memang bukan kuburan asli Gie. Akibat pembangunan gedung perkantoran baru yang menyempitkan lahan makam dan penataan ulang makam oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun 1975, kuburan Gie yang asli telah hilang entah di mana.

Kembali lagi ke soal cerita hunting hari itu, selepas dari taman prasasti acara hunting kita lanjutkan ke Masjid Istiqlal. Pemilihan Istiqlal sebagai lokasi selanjutnya sebenarnya terbilang mendadak dan tidak sengaja karena tujuan awal kita justru gedung-gedung tua di kota. Sesampainya di Istiqlal kita menemukan sesuatu yang lain karena banyak polisi ada di sana. Penasaran kami pun bertanya, “Kok banyak polisi ada apa pak,” tanya teman saya. Salah satu polisi tersebut menjawab bahwa akan ada Pangeran Charles berkunjung ke Istiqlal. Teman saya bertanya lagi, “Tapi masih boleh sholat ke dalam kan?” Dengan tersenyum polisi tersebut menjawab boleh. Kemudian masuklah kita ke dalam dan sholat.

Seusai sholat kita melihat sejumlah wartawan bahkan kita kenal beberapa dari mereka. Mengingat tujuan kita memang tidak untuk memotret kunjungan pangeran Charles kita tenang-tenang saja apalagi kita juga tidak memiliki ID card khusus yang tampaknya disediakan oleh pihak Istiqlal. Tapi pada saat pangeran Charles datang kita melihat ada celah dan bisa nimbrung motret. Maka ikutlah kita beraksi. Kita tentu memotret dengan kamera seadanya tanpa flash segala macam, apalagi saya bekalnya cuma kamera IR. Tapi karena tidak ada beban justru kita mendapat gambar yang bagus, teman saya dapat angle yang menarik dengan memanfaatkan lampu flash teman-teman yang lain. Sedangkan saya mendapatkan lokasi yang lumayan enak. Ketika teman-teman wartawan dan pewarta foto lain masih terus mengejar pangeran Charles untuk mendapatkan berita dan foto terbaik kitapun memilih mundur.

Pada saat mundur kita mendapat pertanyaan lucu dari salah satu orang yang sedang mengaji di masjid tersebut,”Ada orang gila masuk masjid yang ya kok ribut-ribut?” Dengan sedikit tertawa kita menjawab,”Orang gila gimana ada pangeran Charles bu,” jawab kita. Mendengar jawaban kita sang ibu tadipun menghentikan ngajinya dan ikut-ikutan ngejar pangeran Charles. “Ada-ada saja, padahal saya mau motret waktu dia ngaji gara-gara pangeran Charles malah nggak jadi,” ujar teman saya. Pangeran Charles kemudian terlihat berdiskusi serius dengan beberapa pejabat masjid dan tokoh islam salah satunya adalah Din Syamsudin.

Saat itulah kita melihat foto-foto hasil jepretan sembari tertawa-tawa.Teman saya bilang kalau tadi motretnya dalam rangka kerja pasti hasilnya tidak sebagus sekarang. Sedangkan saya bilang fotografer Indonesia mana yang punya foto pangeran Charles tapi IR untuk sekarang ini. Bahkan fotografer sekelas Darwis Triadi atau pewarta senior seperti Enny Nuraheni (yang saat itu juga ada) saat ini juga belum punya. Saya dan teman saya lantas tertawa. Seusai cukup tertawa-tawa kitapun langsung pulang karena haris sudah semakin sore. Sampai di luar ternyata pangeran Charles juga sedang keluar saya dan temanpun kembali ikut memotret tapi kini kita tidak dapat hasil yang bagus mengingat sudah banyak orang, pengawalnnyapun lebih ketat. Ketika para pewarta foto masih berebut foto sayapun memutuskan mundur. Pada saat itu ada seorang bapa-bapak bertanya pada saya. “Wartawan mana mas?” secara spontan sayapun menjawab, “Abal-abal.com.”

Bapak-bapak itupun bengong dan bingung sayapun menimpali lagi,”Wartawan abal-abal pak.” Mendengar jawaban saya bapak-bapak itupun tersenyum. “Wah saya kira wartawan beneran, tapi saya doakan semoga beneran jadi wartawan abal-abal.com,” ujar bapak-bapak tadi sembari berlalu. Mendengar jawaban tadi saya justru yang terbengong-bengong. Saya lantas berpikir biasanya kalau ada orang yang berdoa secara nothing to lose malah diijabah Allah. Sayapun berpikir siapa tahu doa bapak-bapak tadi bisa menjadi kenyataan. Siapa tahu beberepa waktu ke depan justru ada berita Abal-abal.com: Exclusive interview with Prince Charles. Dan kalau itu memang terjadi semoga saja saya bisa jadi ownernya atau pemimpin redaksinya. Paling apes ya jadi redaktur pelaksana lah. Nah kalau memang abal-abal.com jadi ada teman-teman yang mau bergabung dengan saya…?????

Thursday, October 9, 2008

…………… ??


……………

Ganjalan itu mungkin masih ada, karena sejatinya luka itu telah terlanjur berbekas. Walau perjalanan waktu mungkin sedikit demi sedikit bisa mengikisnya.

Ketika sedikit meruntut jejak masa lampau, ada tapak yang pernah mengguratkan tanda. Tanda pernah berkumpulnya beberapa senyawa yang berpisah di persimpangan tanpa meninggalkan bekas.

Kini, semuanya mungkin tidak akan sama tapi untuk sebuah kenyataan bahwa nyawa masih ada.Tentu tidak seharusnya memutus begitu saja ikatan yang pernah ada.

Dimulai dengan kata apa kabar, semoga ini bisa mencairkan semuanya.

Kalimat ini pernah saya kirimkan kepada beberapa teman untuk kembali menyambung tali silaturahmi yang telah tercerai berai selama beberapa tahun. Namun tak pernah ada tanggapan dari mereka. Hal ini kian membekukan rasa saya terhadap mereka. Sayapun tak tergerak lagi untuk mencari tahu sebabnya mengapa mereka tak mau menyambut uluran tangan saya. Padahal untuk mengulurkannya saya harus merendahkan ego pada titik yang ternadir.

Wednesday, June 25, 2008

-Catatan Pingir GM-

Gua

Iman selamanya akan bernama ketabahan. Tapi iman juga bertaut dengan antagonisme. Kita tahu begitu dalam makna keyakinan kepada yang Maha Agung bagi banyak orang, hingga keyakinan itu seperti tambang yang tak henti-hentinya memberikan ilham dan daya tahan.

Tapi kita juga akan selalu bertanya kenapa agama berkali-kali menumpahkan darah dalam sejarah, membangkitkan kekerasan, menghalalkan penindasan.

Hari-hari ini, ketika orang-orang Ahmadiyah terpojok di beberapa kota di Indonesia, dua sisi itu muncul di kepala saya kembali.

Tiga tahun yang lalu seorang teman di Eropa bercerita tentang sepucuk surat yang ia terima dari adiknya di Basra, Irak. Si adik mengenangkan apa yang dipikirkannya ketika ia, seorang perempuan keluarga Sunni, bersembunyi di sebuah lubang di lapangan agak jauh dari rumah, sementara di luar, di jalanan, para anggota milisia Syiah lalu-lalang ber­senjata. Bunuh-membunuh telah beberapa hari berlangsung. Paman mereka dan ke­dua anaknya tak pernah kembali.

”Saya bayangkan, saya adalah seorang penganut Islam pada tahun-tahun men­jelang Hijrah—seorang yang ikut bersembunyi dalam gua bersama Rasulullah, ke­tika orang-orang Quraisy bersimaharajalela,” demikian si adik menulis. ”Apakah saya akan setakut diri saya hari itu, tak putus-putusnya menanti hari jadi gelap agar saya, penganut Muhammad saw, akan bisa bebas dari pembantaian? Ataukah saya akan tabah, karena saya ada di dekat Nabi?”

Dan si adik menjawab pertanyaannya sendiri: ”Benar, Rasulullah tak berada di Basra, tapi saya tetap merasa di dekat beliau. Karena seperti orang-orang Islam pertama, saya dalam posisi yang lemah, tapi tahu tak merasa bersalah. Saya tak bersalah bahkan kepada orang-orang yang ingin membinasakan kami di luar itu—apalagi kepada Tuhan. Saya hanya berbeda. Saya hanya dilahirkan berbeda.”

Si kakak, teman saya orang keturunan Irak yang sudah hidup di Amsterdam itu, yang seperti hafal benar dengan surat itu, tak bercerita apa selanjutnya yang ditulis adiknya. Kami berdua sedang menyeberangi Vondelpark, di sebuah awal musim panas. Orang-orang berbaring atau duduk membaca di bawah pohon, di atas rumput. Dua pemuda Cina sedang membuat sketsa. Seorang hitam memukul perkusi, sendirian.

Teman saya tak memperhatikan itu semua. Ia hanya­ berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ”Beda—itu per­kara besar pada zaman kita. Terutama karena beda tak lagi dilihat dari luar, dari kulit tubuh dan pakaian, tapi dari dalam, dari iman.”

Saya coba membantah. ”Surat adikmu menunjukkan bahwa itu bukan hanya perkara besar buat zaman kita. Itu sudah sedemikian penting dan sedemikian genting sejak manusia mengenal agama-agama.”

”Betul. Tapi pada zaman ini perkara itu tak hanya persoalan lokal. Iman jadi penggerak antagonisme di mana-mana di dunia. Terus terang saya tak tahu apa desain Tuhan sebenarnya dengan manusia. Beda adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Iman adalah sesuatu yang Ia kehendaki. Tapi permusuhan?”

Iman: antagonisme? Atau iman sama dengan perisai pe­lindung—yang juga berarti suatu kekuatan yang bertolak dari asumsi bahwa kehidupan beragama adalah semacam perang?

Saya ingat, seraya bercakap-cakap itu kami berjalan ke arah halte trem di tepi kanal. Saya ingat, saya mendegar suara jengkerik di sebuah semak. Tiba-tiba teman saya berkata, ”Me­ngapa kita harus memakai perisai?”

Saya diam tak tahu apa yang dimaksudkannya.

”Surat adik saya itu,” katanya. ”Surat itu mengingatkan saya akan cerita yang saya dengar ketika saya anak-anak. Rasulullah bersembunyi di gua itu, ketika orang-orang Quraisy mencarinya untuk di­binasakan. Mereka tak curiga bahwa di dalamnya Muhammad putra Abdullah ber­sembunyi, sebab di pintu gua itu Tuhan meletakkan seekor laba-laba, yang me­nyusun jaringnya, dan dengan begitu membuat sebuah kamuflase: gua itu tak dimasuki siapa pun.”

Bukankah itu sesuatu yang inspiratif, tanya teman saya itu.

Apa yang inspiratif?

Laba-laba, katanya pula. Dari cerita itu kita tahu, tak salah bila kita melihat dunia di luar itu dengan sadar, bah­wa yang memisahkan ”kita” dengan ”mereka” cukup benang-benang tipis laba-laba. Bukan pintu besi sebuah benteng. Bukan sebuah tameng. Batas itu mengubah sikap antagonistis dengan sikap tabah, mengubah yang agre­sif ke luar dengan yang tenang dan yakin dalam batin.

Tentu. Mereka yang agresif dan penuh kekuatan tak dengan sendirinya akan berhenti. Batas itu memang bisa dikoyak dengan gampang; laba-laba itu makhluk yang lemah. Tapi bukankah kisah Rasulullah itu juga mengajari kita bahwa tiap iman punya guanya sendiri? Dan gua itu tak akan terjangkau bahkan oleh kebengisan apa pun?

Saya termenung. Saya dengar lagi suara jengkerik. Sa­ya pun ingat serangga yang gampang terinjak, burung yang gampang diusir, semut yang gampang dibasmi, juga laba-laba yang mudah diterjang. Betapa rapuh. Tapi mere­ka punya ruang sendiri, mungkin gua, mungkin liang, mung­kin sarang, yang mengandung rahasia—sebagai bagian dari desain Tuhan yang juga sebuah rahasia.

~Majalah Tempo Edisi. 18/XXXVII/23 - 29 Juni 2008~

Monday, April 14, 2008

Porto, Portugal


Senja merambah pelan menyiratkan warna keemasan. Pemandangan kota Porto kian membayang membentuk siluet besar. Gedung-gedung tua berasitektur kuno yang merangkai sebagian wajah kota ini terasa lebih hangat menyapa. Dalam tapak-tapak budaya klasik Eropa kota inipun bertutur tentang kebesaran Portugal.

Portugal adalah sebuah negara di Eropa bagian barat daya. Negara ini berbatasan langsung dengan Spanyol di utara dan timur serta Samudra Atlantik di bagian barat. Portugal terbagi atas 18 distrik, ditambah kepulauan Azores dan Madeira.
Wajah sebagian Portugal terbelah sungai Tagus yaitu sungai terbesar di Semenanjung Iberia. Sungai ini memanjang sejauh 1.038 km, 716 km-nya berada di Spanyol serta 275 km sisanya di Portugal. Sedangkan 47 km lagi merupakan batas antara Portugal dan Spanyol. Sumber mata air sungai Tagus adalah Fuente de García, yang terletak di pegunungan Albarracín. Bermuara di Samudra Atlantik di Lisabon.
Di masa lalunya kejayaan Portugal pernah terwakili oleh sosok Vasco Da Gamma. Seorang tokoh penjelajah yang membangun rute lautan dari Eropa ke India. Pelayarannya memungkinkan perdagangan dengan Timur Jauh, tanpa menggunakan rute kafilah Jalur Sutera yang mahal dan tidak aman, antara Timur Tengah dan Asia Tengah. Vasco Da Gama merupakan pembuka gerbang era dominasi Eropa selama ratusan tahun melalui kekuatan laut dan perdagangan. Bahkan khusus di India kolonialisme Portugis bisa bertahta selama 450 tahun.
Ketika keseragaman (globalisasi) menjadi sebuah keniscayaan Portugal tetap melindungi akar budaya mereka dari penetrasi kebudayaan asing. Warga Portugal juga dikenal sangat membanggakan bahasa nasional mereka sehingga terkadang menyulitkan mereka sendiri ketika harus berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa asing. Mayoritas penduduk Portugal (97%)-nya, beragama Katholik Roma sedang (1%)-nya Protestan dan 2%-nya beragama lain.
Struktur Ekonomi Portugal lebih ditopang oleh sektor jasa. Meskipun hasil pertanian utama mereka seperti padi, kentang, zaitun, (olives), anggur, domba, lembu, kambing, unggas, ayam itik, daging, juga kedelai dan jagung berkembang baik. Portugal juga dikelilingi oleh udara yang sejuk dan kondisi alam yang sangat indah, sehingga industri pariwisatanya juga sangat bagus.
Sementara porto sendiri, merupakan kota terbesar ke dua di Portugal setelah Lisabon. Arsitektur kota Porto terangkai oleh bangunan abad pertengahan yang berdiri kokoh melewati batas waktu. Kekokohan gedung-gedung tua inipun, tak sekadar berperan sebagai pembingkai sejarah kota Porto. Tetapi juga pemberi arti akan pentingnya sebuah kebesaran masa lampau.
Semangat dan jiwa kota Porto sebagian terepresentasikan pada sebuah klub sepak bola lokal bernama FC Porto atau Futebol Clube do Porto. Klub ini didirikan pada tahun 1893 oleh António Nicolau de Almeida. Dalam jajaran elit sepak bola Portugal FC Porto sejajar dengan Sporting Lisboa dan Benfica, sebagai tiga klub besar. FC Porto mempunyai stadion bernama Estádio do Dragão. Sebelumnya stadion ini bernama Estádio das Antas sebelum direformasi pada tahun 2003 lalu. FC Porto telah dua kali menjuarai Liga Champions. Pertama kali pada tahun 1987 dan 2004 lalu sekali menjuarai Piala UEFA di tahun 2003.
Indahnya Porto tidak hanya bisa dilihat ketika matahari memberi sinar dan menyulut warna perak di dinding-dinding kota. Tetapi juga saat temaram bulan melukis wajah Porto dengan mengguyurkan warna-warna kuning menyilaukan mata.

Thursday, April 3, 2008

“Surip”


Dari sebuah perbincangan ringan dengan Darwis lahirlah tulisan ini. Curahan sederhana dari sang fotografer tentang fotografi dunia yang begitu dicintainya....

Kita manusia diciptakan dari jalinan raga dengan panca indera lengkap disertai jiwa, roh juga impian, fantasi, dan nafsu. Semua kelengkapan tersebut tentu bukan sekadar atribut kosong. Karena masing-masing indera bahkan nafsu mempunyai tugas dan fungsi berbeda. Dan dari perbedaan fungsi itulah kita bisa belajar merasa dan mengerti tentang semua yang terjadi di alam ini, yang bisa menginspirasi kita dalam berkarya.
Suatu karya kreatif kadangkala lahir dari sesuatu yang tak pernah kita duga sebelumnya. Semuanya terjadi dalam sebuah momentum yang harus cepat kita tangkap. Tetapi tak jarang karya itu juga terjemahan dari apa yang kita rasa, kita lihat atau bahkan kita benci. Sehingga ada proses perjalanan dari sebuah pengamatan empirik, perenungan bahkan serangkaian mimpi dan fantasi panjang. Hingga semuanya berujung pada titik akhir sebuah eksekusi dengan konsep, visi, dan misi dan hasil baru sekaligus lain.
Seperti halnya yang terjadi pada sore itu saat Jakarta diguyur hujan lumayan lebat. Pada awalnya tak terpikir untuk bekerja di tengah guyuran hujan sekencang itu. Tapi entah kenapa ada sebuah dorongan yang membuat tangan ini tergerak untuk mengangkat kamera. Bekerja dalam situasi seperti ini tentu tak mudah. Banyak tantangan yang harus kita lalui. Mulai dari cipratan air yang bisa kena tubuh dan kamera sampai sulitnya mendapat lighting yang bagus. Tapi di satu sisi ada keuntungan tersendiri saat kita bekerja dalam tantangan seperti ini. Kita menjadi lebih fokus pada pekerjaan.
Dengan demikian kita harus bisa mengajak seluruh panca indera kita untuk tetap stabil sekaligus menisbikan segala gangguan yang ada di sekitar kita.
Berusaha untuk tetap stabil di segala kondisi bagiku mungkin tak terlampau sulit. Karena upaya ini telah biasa aku lakukan, tapi situasi menjadi sulit saat aku mengajak serta orang lain untuk melakukan hal yang sama. Mungkin ada satu hal yang harus dipahami, memotret bagiku adalah memasuki sebuh dimensi berbeda. Dengan kata lain pada saat memotret bisa jadi aku menjadi pribadi yang lain. Jadi secara tidak langsung saat aku memotret dengan dibantu orang lain berarti aku juga mengajak orang lain memasuki sebuah lorong dalam dimensi yang tak biasa.
Dalam dimensi lain ini segala sesuatunya tentu akan berbeda. Bahasa verbal tak lagi dominan dan bahasa rasa menjadi lebih berbicara. Hasilnya aku menjadi lebih peka dengan apa yang ada di sekitarku. Bahkan sekonyong-konyong aku bisa melakukan sesuatu di luar kendali saat lingkungan sekitar tak lagi sejalan denganku. Seperti membuang peralatan sampai tak bisa mengenali lagi orang-orang disekelilingku. Dan sore itu pengalaman aneh seperti terulang kembali. Entah karena apa secara spontan aku memanggil nama asistenku dengan nama Surip, padahal itu bukan namanya.
Dan aku baru sadar setelah pekerjaan usai, itupun karena diingatkan. Pada akhirnya aku semakin yakin bahwa fotografi telah membuat sebuah perbedaan bagiku. Setidaknya saat memasuki dunianya aku merasa seperti kehidupan lain yang tak kalah asiknya. Dan anehnya pada titik itu aku merasa nyaman sekali. Sampai sekarang aku tak tahu apakah ini sesuatu yang baik atau buruk. Tapi yang pasti sore itu aku cukup senang ditemani oleh “Surip”. Entah di hari lain siapa lagi yang dengan senang hati mau menemani aku, bisa saja Karto, Kasdi atau lainnya.