Monday, December 1, 2008
Sigit Pramono dan Hobi Yang Menyeimbangkan
Fotografi bagi Sigit tak sekadar hobi. Dia berharap lewat karya-karyanya dia ingin memberikan inspirasi kepada masyarakat, agar lebih peduli terhadap alam.
Keseimbangan biasanya sanggup menghasilkan sebuah harmoni. Karena lewat alur yang berimbanglah maka antara satu item dengan item lainnya bisa saling berkait dan mengisi satu sama lain. Maka tidak heran jika seorang seorang Sigit Pramono juga menerapkan filosofi keseimbangan dalam menjaga ritme kesehariannya. Duduk sebagai Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia, Tbk seringkali menempatkan dirinya pada sebuah rutinitas pekerjaan yang lebih “memaksa” sisi rasionalitasnya bekerja. Karena itulah diperlukan media pelepas stress sebagai penyeimbang bagi emosinya.
Diantara media pelepas stress yang ada Sigit menjatuhkan pilihan pada fotografi, sebuah dunia yang telah diakrabinya semenjak SMA. Lalu mengapa fotografi? Menurut Sigit ada kenikmatan yang tidak bisa dijelaskan ketika menjalani hobi ini. “Enaknya itu gimana ya, pokoknya setiap kali jari menekan tombol shutter ada sesuatu yang mengalir langsung ke hati,” ujar Sigit sembari tersenyum penuh makna. Meski berperan sebagai hobi, bagi Sigit fotografi tidak hanya berperan sebagai penuntas dahaga emosi saja. Ada kalanya pada level tertentu Sigit menjalankan hobinya ini secara serius.
Mungkin masih lekat di ingatan kita bagaimana pria berkacamata ini sukses mengadakan pameran foto yang menghasilkan rekor penjualan fastastis hingga Rp 5,55 miliar. Meski demikian ketika ditanya soal tersebut Sigit hanya memberikan senyuman saja tanpa jawaban ekspilist. Bahkan kemudian dia memberikan memberikan pernyataan lain “Saya ingin melakukan pameran lagi tapi waktunya belum bisa dipastikan,” ujarnya. Mengadakan pameran sendiri bagi Sigit merupakan wadah untuk menunjukkan ekspresi karyanya dan bukan untuk mencari keuntungan. Karena semua hasil pameran karya-karyanya langsung disumbangkan ke yayasan pendidikan yang dimiliki Bank BNI.
Menempatkan Sigit sebagai seorang fotografer maka saat ini dia lebih dikenal sebagai fotografer yang pandai membingkai obyek-obyek landscape dan panorama. “Sebenarnya saya juga senang dengan obyek human interest,” tambah Sigit. Foto-foto yang ditampilkan oleh Sigit memang mempunyai kesan yang kuat pada sisi komposisi dan pencahayaan. Luksian-lukisan alam yang terhampar mampu dialihkan lalu dibingkainya ke dalam foto dengan porsi yang pas, bahkan saat obyek itu harus “dipotong” sekalipun. “Obyek panorama atau human interest sesungguhnya tidak bisa diatur-atur dan disinilah kepekaan kita diuji,” ujar Sigit. Dan ada kalanya untuk mendapatkan sebuah gambar yang bagus Sigit harus sabar menunggu sampai obyek yang diinginkannya melambaikan guratan-guratan ajaib. “Saya pernah motret itu senja semburatnya bukan hanya jingga, tapi juga ungu, indah sekali,” ujar Sigit sambil menunjukkan foto tersebut.
Lalu pada saat ditanya apakah untuk mematangkan semua teknik fotografinya Sigit pernah belajar secara formal? Dia menjawab tidak. “Saya lebih banyak belajar sendiri, praktik, baca buku, diskusi dengan rekan-rekan yang punya hobi fotografi,” tukasnya. Dan menurut Sigit pada dasarnya semua orang bisa memotret. Meski selanjutnya akan ada hal-hal yang membedakan terutama soal cara memandang sebuah obyek. “Memang ada beberapa orang yang dibekali talenta. Tapi bagi saya yang penting adalah berlatih, mengasah teknik dan rasa,” ujar Sigit.
Untuk mencari obyek yang menarik pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 14 November 1958, ini acap kali memanfaatkan waktu senggang di akhir pekan atau disela-sela tugasnya ke luar negeri. Pasar ikan di Muara Karang atau Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi tempat yang sering dikunjungi. “Saya pernah juga ke Papua,Tanatoraja, Lombok, NTT, Bali dan beberapa daerah di Sumatera,” ujar pemilik kamera pertama Asahi Pentax K-1000 ini. Puncak pegunungan di Amerika yaitu Carylab juga pernah disinggahinya. Bahkan menurut Sigit dia mendapatkan gambar yang sama sekali di luar perkiraannya. “Waktu itu kan musim gugur, jadi saya mengejar keindahan warna-warni daun pada musim tersebut. Tetapi pas sampai sana sudah mendekati musim dingin jadi terlambat” ujar Sigit.
Tetapi kenyataan tersebut justru memberikan pengalaman menarik bagi dirinya. Air-air yang sudah mulai membeku ternyata mampu menyuguhkan pemandangan tersendiri. “Ternyata di sana setiap waktu, punya keindahan sendiri-sendiri. Musim salju pun bisa terlihat luar biasa,” ungkap Sigit. Namun bukan berarti Sigit tidak pernah mengalami kejadian naas saat berburu foto. Kejadian di tembok China bukan hanya terekam lekat di memorinya tetapi juga menyisakan sakit pada kakinya. “Saya salah mendaratkan kaki, akibatnya samapai sekarang kalau buat nekuk kaki saya masih sakit,” ujar Sigit sembari memegangi kakinya.
Perkembangan teknologi dengan perangkat lunak fotografi juga tidak lepas dari pengamatan Sigit. “Teknologi memang akan terus berkembang tapi secara esensi karena kamera itu hanya alat dan semuanya kembali kepada kita,” ujar Sigit. Pun demikian pula dengan perkembangan digital imaging yang terus meluas akhir-akhir ini. Menurut Sigit membuat gambar menjadi lebih bagus itu tidak menjadi soal asal jangan memanipulasi. “Makanya saya tetap mau jadi fotografer bukan photoshoper,” ujar Sigit bercanda. Sigit juga masih menyimpan keinginan bahwa lewat foto perhatian pemerintah maupun masyarakat bisa lebih aware dengan alam. “Bicara soal fotografi di Amerika, fotografer bisa “memprovokasi” pemerintah sehingga memperhatikan taman nasional yang dulunya tidak diperhatikan,” ujar Sigit.
foto sigit pramonophotography.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment