Monday, November 22, 2010

??????

Dunia anak kami tak sepenuhnya bulat, setengahnya wajar sebagian lagi tidak
normal. Lalu dengan aturan apa kami berdua mengajaknya melangkah
memahami hukum dunia ini........(saya tidak mengeluh kok tuhan hanya
...bingung)

Friday, October 8, 2010

malam

Berkacalah pada malam saudaraku
di sana kau akan menemukan tiap sendi dari semesta bersenandung mesra
tentang kerinduannya pada peluk kedamaian dan kebesaran dari kekuatan Maha Tinggi...
lalu...sudahkah kau menemukannya saudaraku......
karena aku masih belum menemukan petunjukNya

Sunday, October 3, 2010

relativitas

Di alam serba relatif ini ijinkan saya tersungkur memeluk harapan, menunggu debar antara nyata dan imajinasi.....

Wednesday, April 14, 2010

Dua Senyawa

Bir pertama terbuka. Disaksikan 1 meja 3 bangku. Dua senyawa bertemu. Lalu dari sanalah cerita hidup mulai terurai. Tentang kesederhanaan, kompleksitas, renik hingga cita-cita. Semua dirangkum. Dalam ikatan semangat yang tak ingin mengingkari peradaban diri. Bahwa hidup sesungguhnya dibentuk dan diakhiri oleh kesenangan. Itulah hakikat yang kita imani. Dua senyawa pecinta bir yang menikmati dengan cara beda. Satu memuja rasa satu memuja buih.

Bir ke dua terbuka. Kaki dua senyawa mulai meninggalkan tanah. Bukan oleh aroma alkohol tapi imaji yang semakin menari. Dalam titik ini, dua senyawa coba mencerna keraguan dan kebimbangan—yang kadang terdengar seperti kata lain dari pencarian. Hidup, apa pun jadinya, memang tak ditindih oleh sekat, meski tak sepenuhnya lepas dari ikatan. Hidup adalah ini hari dan esok. Meinggalkan kemarin yang berserak atau rapi tertinggal. Membersihkan jalan yang harus diretas. Demi sebuah tujuan yang tak sepenuhnya terlihat, sebagian samar dan lainnya sama sekali gelap.

Bir ke tiga terbuka. Bersama buih dua senyawa semakin mengapung. Memandang dari atas mencari serpihan yang terjatuh. Lalu masing-masing menuliskan episode cerita pembebasan dan penemuan kembali yang selama ini belum pernah didengar dunia atau belum saatnya didengar dunia. Dua senyawa setuju untuk tidak sepenuhnya mengikuti rujukan definisi tapi lebih mengikuti tuntunan interpretasi. Rupanya waktu membawa dua senyawa pada pesimpangan yang tepat. Jalan untuk memulai sebelum hari benar-benar berhenti.

Masih banyak bir yang harus dibuka......
(thank’s to Agan Harahap untuk buihnya)

Sunday, March 14, 2010

Enam Diktum Goenawan

DI MANAKAH letak nilai puisi? Yaitu, antara kemampuannya berkomunikasi dengan pembaca dan bagaimana dia bisa menjadi ajang si penyair untuk unjuk gaya; Antara puisi terang-benderang dan puisi gelap; Antara puisi yang selempang pengumuman dan puisi yang rumit tak dimengerti; Antara puisi yang terlalu menghamba pada pembaca dan puisi yang tak peduli pada pembaca.

Ada rumusan sangat bagus dari Goenawan Mohamad soal nilai puisi dan bagaimana puisi harus bisa berkomunikasi dengan pembaca. Saya [baca: Hasan Aspahani] menyimpulkannya dalam enam butir dan memberi penjelasan — tepatnya penafsiran semampunya — sebagai berikut ini:

Pasal 1. Dalam puisi, pada mulanya adalah komunikasi. Karena itu, puisi yang tidak palsu dengan sendirinya dan sudah seharusnya mengandung kepercayaan kepada orang lain, yaitu pembacanya.

Penjelasan: Penyair percaya bahwa pembaca puisinya bisa menerima bahkan menikmati puisi dan pesan yang ada dalam puisinya. Niat awal dari penyair adalah keinginan untuk berkomunikasi dengan pembacanya lewat puisi, bukan sekadar unjuk gaya, berakrobat kata-kata. Ini tentu saja bukan sebuah komunikasi yang praktis, seperti komunikasi kita dengan penjaga kios rokok di tepi jalan, ketika kita ingin beli rokok.

Pasal 2. Prestasi kepenyairan yang matang mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan suatu kepribadian, setiap kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar-benar demikian bila ia secara wajar berada dalam komunikasi.

Penjelasan: Pencapaian penyair tidak diukur dari seberapa mudah atau seberapa susah puisinya berkomunikasi dengan pembacanya. Puisi harus secara wajar berkomunikasi. Komunikasi itu adalah kemutlakan karena puisi bukan seperangkat kata untuk tebak-tebakan juga bukan rumus kode judi buntut. Prestasi penyair atau kematangan penyair tercapai apabila penyair bisa memeragakan gaya ucap yang khas dalam puisi-puisinya. Gaya ucap itu pun harus tumbuh secara wajar, bukan gaya yang sekadar beda dari gaya penyair lainnya.

Pasal 3. Sajak yang mencekoki pembaca, atau menyuruh pembaca menelan saja pesan yang hendak disampaikan atau yang dititipkan lewat penyair adalah sajak yang tidak pantas dihargai.

Penjelasan: Komunikasi dalam sajak adalah komunikasi yang iklas dan wajar. Bukan komunikasi yang memaksa. Penyair tidak lebih tinggi posisinya di hadapan pembaca. Penyair bahkan tidak berada di hadapan pembacanya. Ia bersisian dengan pembacanya. Karena itu sajak yang memaksa — dengan demikian juga penyair yang menuliskan sajak itu — tidak pantas mendapat penghargaan.

Pasal 4. Penyair dan pembacanya berada dalam sebuah ruang kebersamaan yang meminta banyak hal serba terang, sebab dengan demikian terjamin kejujuran, dan penyair tidak sekedar menyembunyikan maksud sajaknya bagi dirinya sendiri.

Penjelasan: Penyair bukanlah orang yang berada pada posisi untuk mengelabui pembaca puisinya. Penyair bukan seorang yang mengacaukan kepingan fuzzle untuk disusun kembali menjadi gambar yang utuh oleh pembacanya. Penyair adalah ibarat pelukis. Dia bisa melukis obyek dengan gaya abstrak, realis, atau figuratif. Lalu dia memasang lukisannya di ruang pameran. Pembaca adalah orang yang mengamati dan menikmati lukisan itu tanpa dihalang-halangi oleh garis pengaman dan dengan pencahayaan yang cukup. Tentu saja si pelukis boleh saja menyimpan sendiri maksud atau niat awal yang menggerakkannya melukis obyek lukisannya. Tapi bukan itu yang membuat lukisannya bernilai. Pelukis harus bergirang hati dan ikhlas menerima tafsir yang bebas dan bermacam-macam dari penikmat lukisannya. Lukisan yang baik seharusnya selalu menggerakkan hati siapa pun untuk menikmati dan memaknai.

Pasal 5. Akrobatik kata-kata untuk dengan sengaja membikin gelap suatu maksud sajak menunjukkan tidak adanya kejujuran, yang pada akhirnya tidak lagi dipercaya pembacanya dan kemudian ia pun tidak lagi percaya pada dirinya sendiri.

Penjelasan: Penyair dan sajaknya memang diberi lisensi puitika untuk menyimpangkan, menciptakan, dan menggandakan arti dari gramatika yang lazim. Tapi jurus-jurus itu dipakai untuk membuat asyik dan menarik komunikasinya dengan pembaca, bukan sekadar sengaja bikin gelap dan membuat pembacanya merasa bodoh dan tak berdaya. Kebanggaan penyair bukanlah apabila sajaknya susah dimengerti oleh pembaca.

Pasal 6. Penyair harus meletakkan sajaknya di antara “kegelapan-supaya-tidak-dimengerti” dan “tidak-menjejalkan-segala-galanya-kepada-pembaca”, tanpa mengaburkan batas antara kedua hal itu.

Penjelasan: Ada titik di ujung kanan, dan titik lain di ujung kiri. Di antara kedua titik itulah penyair harus meletakkan sajaknya. Tidak pernah ada titik yang pasti. Proses menyair adalah percobaan yang terus-menerus. Ada percobaan yang berhasil, ada yang nyaris berhasil, dan ada yang gagal. Penyair hanya harus menyadari ada dua titik itu dan harus pula ia sadar akibat-akibat yang bisa kena pada puisinya bila ia melampaui titik itu.

* Disarikan oleh Hasan Aspahani dari “Pada Mulanya adalah Komunikasi” tulisan Goenawan Mohamad dalam buku “Kekusastraan dan Kekuasaan”, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993.

Wednesday, March 10, 2010

rasa

Satu ranjang tiga nafas di sana kita berbagi. Tapi semuanya tak serta merta membuat segalanya menyatu. Aku tetap belum mengerti semuanya. Tawamu, senyummu bahkan tangismu. Barangkali intensitas belum bisa menyibak kedalaman. Tapi percayalah ada bagian yang terus menebal tiap hari. Aku mungkin tak bisa menunjukkanya karena dia lebih suka menyelinap saat kau terlelap. Atau tersenyum saat kita terpisahkan jarak. Untuk hari ini aku hanya ingin mengucap maaf bersama rasa sayang yang tak pernah kau lihat……

Monday, February 22, 2010

-peace-

Pada sebuah ketidaktahuan manusia menyandarkan diri. Itulah mengapa hidup menjadi sedemikian penuh teka-teki. Pun kita sendiri tak tahu kapan harus berujar akan pergi. Tapi Tuhan pasti tahu hal terbaik yang kalis dari pandangan kita. Sabar teman ayahanda tengah menikmati kesejatian. Sebagaimana tiap hari beliau ucapkan “Sesungguhnya shalatku,ibadahku hidup dan matiku hanyalah untuk Allah SWT.

Saturday, February 6, 2010

Anakku

Anakku malam ini ijinkan ayah mengucapkan terima kasih kepadamu. Atas nyanyian merdu yang kau dendangkan tiap hari. Atas hentakan nada-nada penuh warna yang kau mainkan tanpa jeda. Maafkan ayah jika terkadang tak mengerti akan pilihan melodimu. Tapi yakinlah ayah tetap bisa melihat gerakmu memilih nada. Menyimak intensitasmu menyusun harmoni yang hendak kau gunakan untuk bersuara.

Anakku ayah tahu dalam harimu yang masih baru kau lebih banyak mendengar lagu sendu. Irama yang jauh dari kesempurnaan yang acapkali ayah mainkan. Anakku ayah tahu kau tak pernah menerbitkan syakwasangka untuk ayahmu. Engkau lebih memilih untuk menyelaraskan alunan suaramu dengan tatanan simfoni tak beraturan yang ayah mainkan.

Anakku terima kasihku sekali lagi untukmu.