Tuesday, August 25, 2009

TITIPAN

Sesungguhnya saya tak begitu mengenal atau berusaha mengenal sosok yang beberapa waktu lalu meninggalkan fananya dunia ini. Rendra sang burung merak. Meski namanya begitu besar menggaungi dunia budaya Indonesia namun keindahan sayapnya tak begitu membuat saya gandrung dengan karya-karyanya. Bukan karena karyanya tidak bagus tapi mungkin karena saya belum menemukan karyanya yang membuat saya tergetar secara pribadi. Karya yang paling saya ingat dari Rendra adalah puisinya tentang para pelacur Jakarta. Puisi yang menelanjangi kentalnya kemunafikan di negeri ini.

Baru setelah kematiannya saya menemukan keindahan dan kedasyatan puisi-puisi Rendra. “Sajak Sebatang Lisong” adalah salah satunya. Bahasa puisi Rendra memang cenderung lebih lugas tidak manis berbuih-buih. Namun kekuatan katanya untuk menusuk benar-benar dalam. Pemilihan katanya juga tak pernah disangka-sangka bahkan untuk kata yang sederhana sekalipun. Menjelang akhir hayatnya Rendra telah bermetamorfosis menjadi sosok yang sangat relijius. Puisi-puisinya juga lebuh banyak memuja kebesarannya. Puisi berjudul Titipan ini menjadi penanda betapa cintanya rendra dengan Tuhan. Bertepatan dengan bulan ramadhan rasanya tema puisi ini sangat cocok untuk kembali mengingatkan kita akan arti sebuah ibadah.

TITIPAN

Sering kali aku berkata, ketika seorang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan-Nya,
bahwa rumahku hanya titipan-Nya,
bahwa hartaku hanya titipan-Nya,
bahwa putraku hanya titipan-Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku ?

Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk
milik-Nya ini ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali
oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa
itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti
matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku,” dan menolak
keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku.

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
Hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan
keberuntungan sama saja.”

Monday, June 8, 2009

Terima Kasih




Kembali ke atmosfir yang sudah lama tak pernah saya rasakan. Demikianlah ketika saya mulai merangkai kalimat dan membuat tulisan untukmengisi blog “korannya ucup” yang sudah lama tak menerima postingan baru. Ada sedikit hasrat yang mulai berpijar tiap kali jari-jari saya menyentuh barisan huruf yang tertata rapi di keybord. Sebuah hasrat yang dahulu begitu hangat menemani saya setiap kali berusaha melahirkan karya baik untuk sekadar bersenang-senang atau karena tuntutan pekerjaan. Setelah sekian lama kehilangan kesenangan membuat tulisan kini sedikit demi sedikit saya mulai menemukan kembali kenikmatan itu. Kenikmatan berekreasi di dunia imajinasi dan kenyataan yang bebas.

Sebagai anggota redaksi sebuah majalah, menulis memang pekerjaan saya setiap hari. Tapi entah kenapa sudah lama saya tidak bisa menikmati pekerjaan tersebut. Menulis bagi saya hanyalah sebuah kegiatan rutin yang “biasa”, tak ada letupan, tak ada kegairahan sebuah repetisi tanpa makna, tak ada nyawa. Namun kegairahan ini kembali muncul setelah mempir ke blog Dewi Lestari yang mengulas tulisan Ndoro Kakung di blognya. Nge-blog: Perjalanan Panjang Dengan Hati. Ulasan Dewi Lestari tentang tulisan Ndoro Kakung di blognya mulai menarik hati saya untuk mampir ke blog beliau. Setelah dari blog Ndoro Kakung sayapun menyempatkan diri untuk bertamu ke blognya Raditya Dika

Hasilnya saya kembali tersadar pada hal yang paling esensi tentang menulis. Menulis adalah membiarkan ide bergerak bebas bersama imajinasi disertai sapuan-sapuan suasana hati yang membuat menulis menjadi sebuah perjalanan menyenangkan tanpa batas. Dan yang paling penting menulis adalah sebuah ritual yang bisa dilakukan sembari bersenang-senang. Tanpa beban, tapi punya tujuan yang pasti dan jelas. Dua minggu lalu teman saya kembali membukukan karya-karya puisinya dan mencetak novel ke duanya. Sembari melakukan promosi dia menyempatkan diri untuk mengingatkan saya agar secepatnya menemukan kembali diri saya. Dengan mengais semangat yang masih tersisa saya pun kembali ke jalan yang begitu lama saya tinggalkan. Agar cita-cita sederhana untuk bercerita ke teman-teman, “Eh novelku dijual lho di toko buku…….. berdeketan lagi ama novelnya Pramoedya Ananta Toer,” bisa kembali terwujud.

Terima kasih Dewi Lestari, Ndoro Kakung, Raditya Dika dan temanku yang tak pernah berhenti berkarya Handoko atas semua letupannya.

Monday, April 27, 2009

Greatest Love Of All

I believe the children are our future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they posses inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be

Everybody searching for a hero
People need someone to look up to
I never found anyone who fulfilled my needs
A lonely place to be, so I learned to depend on me

I decided long ago never to walk in anyone's shadow
If I failed, if I succeed, at least I lived as I believed.
No matter what they take from me they can't take away my dignity

Because the greatest Love of all is happening to me
I found the greatest love of all inside of me

The greatest love of all
Is easy to achieve learning to love yourself,
it is the greatest love of all

And if by chance that special place that you've been dreaming of
Leads you to a lonely place find you strength in love


Saya hanya suka dengan syair lagu ini itu saja.....

Wednesday, January 7, 2009

Indra Leonardi, Emosi Sebuah Foto



(Garin Nugroho salah satu foto karya Indra yang pernah dipamerkan)


Bagi Indra Leonardi, menjadi fotografer lebih dari sekadar meneruskan usaha tradisi keluarga. Menurut pandangannya meski lahir dan besar di dunia fotografi, belum tentu orang bisa menjadi fotografer yang baik.

Tak berlebihan memang jika Indra Leonardi dikenal sebagai seorang fotografer Potraits yang cukup disegani. Kemampuannya untuk membawa emosi obyek ke dalam fotonya demikian menyentuh. Dengan jenius dia mampu menggabungkan teknik fotografi, emosi dirinya dan sang obyek ke dalam estetika gambar yang berkarakter. Interaksi itu terjalin mulus seolah tanpa beban sehingga emosi yang keluar adalah sebuah tautan yang tidak saling tumpang tindih antara karakter fotografer dan obyek.

Dunia fotografi sendiri sejatinya merupakan dunia yang telah lekat pada diri Indra semenjak kecil. Ayahnya adalah seorang fotografer sekaligus pendiri studio King Foto. “Jadi bagi saya fotografi sudah menjadi aliran darah,”ujar Indra. Namun bukan hanya alasan itu yang membuat Indra tergerak untuk mengetahui fotogarfi lebih jauh. “Sebenarnya di luar pengaruh ayah, saya memang telah tertarik dengan seni. Mulai lukisan, patung, arsitektur, disain termasuk fotografi,”papar Indra.

Untuk lebih mendalami fotografi Indrapun belajar di Brooks Institute of Photography Santa Barbara, Amerika Serikat. Hasilnya, Indrapun mempunyai bekal teknik fotografi yang lebih matang. “Dengan basic yang baik akan mempermudah kita dalam melakukan eksperimen-eksperimen baru,” paparnya. Pada awal berkarya Indra mengaku terinspirasi oleh foto-foto yang mempunyai rasa hingga menembus dimensi tertentu. Menurut Indra, “Karya yang bagus dari fotografer manapun menjadi masukan penting sekaligus sumber saya berimajinasi.”

Seiring bergulirnya waktu Indra akhirnya menemukan tastenya sendiri. Taste sendiri menurut Indra merupakan nilai lebih dari seorang fotogrfer. “Photography is general but style is personal,” paparnya. Dan untuk menemukan style tersebut dituntut kejelian untuk bisa melihat kelebihan atau kekurangannya diri sendiri. Dan baginya seorang fotografer harus percaya bahwa foto yang akan dibuat besok atau hari ini merupakan karya terbaik. Dengan demikian muncul stimulus untuk bisa berkarya lebih baik lagi.

Fotografer Potraits dan Seratus tokoh
Menjadi fotografer portrait pada dasarnya bukanlah profesi yang mudah. Menurut Indra proses kreatifnya selalu penuh tantangan. “Kita harus mendapatkan soulnya.Untuk itu saya harus menyerahkan jiwa saya sebelum menghadirkan jiwa orang tersebut ke dalam fotografi yang saya buat,” tuturnya. Dalam mendapatkan jiwa itu biasanya Indra akan membangun sebuah hubungan psikologis yang kuat, guna menarik keluar sisi terdalam mereka. “Biasanya kita ajak dia ngobrol, lihat rumahnya, cara berjalan, berpakaian dari situ bisa terlihat karakternya. Dan pasti masing-masing orang pasti berbeda meskipun mereka dilahirkan kembar,” tukas Indra.
Dan belum lama ini tepatnya pada tanggal 24 Maret-1 April Indra berhasil “merekam” seratus tokoh dalam pameran sekaligus peluncuran buku berjudul Indonesian Portraits. Dalam kesempatan tersebut Indra menghadirkan wajah-wajah “besar” Indonesia seperti sineas Garin Nugroho, koreografer Sardono W. Kusumo budayawan WS Rendra, pengusaha Bob Sadino, penyanyi Titi DJ, petinju Chris Jon sampai pada Presiden Susilo Bambang Yudhono.
Dengan takaran foto yang luar biasa Indra tetap melakukan pendekatan yang “sederhana” dalam memotret. “Secara teknik Pencahayaan dalam pemotretan saya rata-rata simpel walaupun kadang ada beberapa juga yang ribet,” ujarnya. Dengan tujuan mengeluarkan jiwa objeknya maka Indra lebih menitik beratkan sisi tersebut ketimbang yang lain. “Pada saat pemotretan terutama yang ada karakter saya lebih mementingkan aura dari orang itu. Jadi waktu motret saya sudah tidak memikirkan apakah lampunya nyala atau tidak nih, lightingnya f-berapa,” paparnya.

Selain itu previsualisasi menurut Indra juga penting sehingga sebelum memotret kita sudah punya gambaran kira-kira foto saya kalau sudah jadi nantinya seperti apa. Sebagai senjata Indra mengandalkan Canon 1 Ds Mark II. Menurutnya kamera ini sesuai dengan karakternya dengan kepraktisan dan kecepatannya. Bagi mereka yang berniat menjadi fotografer yang baik Indra mempunyai pesan,”Dont stop learning. Kita punya dua kuping dan satu mulut musti banyak menerima masukan, dan yang paling penting Be your self, idealisme harus ada meski harus tetap fleksibel.”

artikel pernah dimuat di majalah Indonesian Photography edisi III

Sunday, January 4, 2009

TIGA ’PENGAWAL PRESIDEN’ DARI INDONESIA

Budiman Sudjatmiko*
Atas ijin dari sang pembuat tulisan maka saya postingkan di blog saya.

Saya dan Rikard Bagun dari Kompas baru mendarat dari Sao Paulo,Brazil, dan langsung menuju rumah presiden Fernando Lugo di Asuncion, ibu kota Paraguay. Menyaksikan rumahnya yang sederhana, tak ayal membuat saya tertegun. Saat itu Lugo belum ada di rumah meskipun waktu itu kami janji bertemu untuk makan malam. Dia rupanya masih belum pulang dari pertemuannya dengan Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi, yang dia jadikan salah satu penasehat ekonominya.

Kesempatan luang yang ada kami gunakan untuk melihat ’isi’ rumah dengan dibimbing oleh teman kami asal Indonesia, Martin Bhisu.

Tak ada satu pun bingkisan atau karangan bunga ucapan ’selamat’ di rumah yang sebentar lagi penghuninya akan dilantik sebagai presiden ini. Hanya ada para tentara berjaga di depan rumah dan ada satu surat ucapan selamat dan solidaritas untuk presiden terpilih Paraguay, yang saya bawa di tas sebagai titipan dari pimpinan partai saya di Indonesia. Sepiring singkong rebus dan sepotong ikan bakar terhidang di meja. Satu set TV lama berukuran 17 inch terletak di samping meja makan yang menyatu dengan ruang tamu bersofa lapuk. Kamarnya pun hanya berisi tempat tidur dengan satu meja baca sederhana.

Yang agak sedikit terlihat istimewa adalah di dinding kamar tidurnya terpampang foto Lugo berdampingan dengan sejumlah sahabat Sosialis-nya yang jadi presiden Amerika Latin. Terpampang sosok Lula da Silva, seorang buruh dan bekas tukang semir sepatu (anak pembantu rumah tangga) yang jadi presiden Brazil; Evo Morales yang seorang petani dan sekarang menjadi presiden Bolivia; Cristina Fernandez de Kircner yang mantan aktivis mahasiswa buronan rejim militer dan sekarang jadi presiden Argentina; Hugo Chavez yang mantan tentara pemberontak dari Venezuela; Presiden Rafael Correa yang Doktor Ekonomi dari Ekuador; Daniel Ortega sang mantan gerilyawan dan sekarang presiden Nikaragua; Michele Bachelet yang mantan tahanan politik dan sekarang presiden Chile ; dokter yang mantan aktivis, Tabare Vasquez, sebagai presiden Uruguay dan sebagainya.

Tak ada saya lihat sosok pesohor dan pelagak yang jadi presiden di foto itu. Di foto itu tercantum kata-kata novelis Paulo Coelho dalam bahasa Spanyol yang kira-kira artinya adalah: ’Dunia kita berada dalam genggaman tangan mereka yang punya keberanian untuk bermimpi dan berlari tanpa takut akan resiko hidup.’

Jam sudah ke angka 23.30 malam. Kami bertiga waktu itu baru saja menyelesaikan makan malam sederhana yang disiapkan Dona Lucrecia yang mengepalai rumah tersebut. Malam dingin di jantung Amerika Latin ini pun jadi hangat dengan keramahan Lucrecia dan panasnya yerba mate yang kami minum bergiliran. Siapa menyangka Lucrecia yang biarawati ini adalah tangan kanan Lugo dalam memimpin aksi-aksi petani selama tujuh tahun. Segera saja saya dihampiri kenangan bunyi harpa (instrumen khas setempat) dari lagu yang saya sukai saat SMA, ’Canta Paraguayo’ dari kelompok Los Diablos del Paraguay. Saya tengah terpesona dengan kebersahajaan ini.

Kami tengah mendiskusikan kembali sejumlah pertanyaan wawancara dengan Martin Bhisu ketika terdengar suara iring-iringan mobil mendekati rumah Fernando Lugo di daerah Lambare, pinggiran kota Asuncion ini. Begitu datang dan menyalami kami bertiga, Lugo lantas mengajak Martin ke kamarnya. Tak berapa lama, presiden Lugo dan Martin keluar tergesa dari kamarnya, dan meminta kami semua untuk cepat-cepat meninggalkan rumah. Ketika para pengawalnya mendesak untuk menemani, dia menolak.

Lugo hanya bicara pada Martin: ’Martin sahabatku, hari ini air sudah sampai leher...Bawa saya ke rumah kita’. Rupanya Lugo menerima laporan bahwa ada ancaman pembunuhan terhadap dirinya. Tidak jelas dari siapa, namun kami hanya bisa menduga-duga mengenai pihak mana yang tak menginginkan Lugo membawa perubahan di Paraguay.

Kami diberitahu oleh Martin bahwa ancaman mati ini bukan hanya sekali diterima Lugo dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh gerakannya. Selama menjadi uskup dia sering membela petani melawan para tuan tanah untuk menuntut landreform, dan juga melawan majikan-majikan multinasional dengan kampanye lingkungan hidup berupa penolakan penggunaan pestisida, pada tahun 2003 sampai 2005.

Akhirnya, saat itu juga presiden terpilih Republik Paraguay, Fernando Lugo, kami larikan dengan mobil pick up bak terbuka, menembus kegelapan malam Asuncion. Kepergian Lugo ini hanya ditemani oleh tiga ’pengawal’ Indonesia-nya yang paham betul dengan getir bahwa dalam jam-jam berikutnya, masa depan politik Paraguay (dan konstelasi Amerika Latin) ada di tangan tiga orang Indonesia yang ’menyedihkan’ ini.

*Ketua Umum REPDEM; Caleg DPR RI PDI Perjuangan dar Daerah Pemilihan Jawa Tengah VIII for Asia, Latin America, and Africa Solidarity)