Monday, April 14, 2008

Porto, Portugal


Senja merambah pelan menyiratkan warna keemasan. Pemandangan kota Porto kian membayang membentuk siluet besar. Gedung-gedung tua berasitektur kuno yang merangkai sebagian wajah kota ini terasa lebih hangat menyapa. Dalam tapak-tapak budaya klasik Eropa kota inipun bertutur tentang kebesaran Portugal.

Portugal adalah sebuah negara di Eropa bagian barat daya. Negara ini berbatasan langsung dengan Spanyol di utara dan timur serta Samudra Atlantik di bagian barat. Portugal terbagi atas 18 distrik, ditambah kepulauan Azores dan Madeira.
Wajah sebagian Portugal terbelah sungai Tagus yaitu sungai terbesar di Semenanjung Iberia. Sungai ini memanjang sejauh 1.038 km, 716 km-nya berada di Spanyol serta 275 km sisanya di Portugal. Sedangkan 47 km lagi merupakan batas antara Portugal dan Spanyol. Sumber mata air sungai Tagus adalah Fuente de García, yang terletak di pegunungan Albarracín. Bermuara di Samudra Atlantik di Lisabon.
Di masa lalunya kejayaan Portugal pernah terwakili oleh sosok Vasco Da Gamma. Seorang tokoh penjelajah yang membangun rute lautan dari Eropa ke India. Pelayarannya memungkinkan perdagangan dengan Timur Jauh, tanpa menggunakan rute kafilah Jalur Sutera yang mahal dan tidak aman, antara Timur Tengah dan Asia Tengah. Vasco Da Gama merupakan pembuka gerbang era dominasi Eropa selama ratusan tahun melalui kekuatan laut dan perdagangan. Bahkan khusus di India kolonialisme Portugis bisa bertahta selama 450 tahun.
Ketika keseragaman (globalisasi) menjadi sebuah keniscayaan Portugal tetap melindungi akar budaya mereka dari penetrasi kebudayaan asing. Warga Portugal juga dikenal sangat membanggakan bahasa nasional mereka sehingga terkadang menyulitkan mereka sendiri ketika harus berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa asing. Mayoritas penduduk Portugal (97%)-nya, beragama Katholik Roma sedang (1%)-nya Protestan dan 2%-nya beragama lain.
Struktur Ekonomi Portugal lebih ditopang oleh sektor jasa. Meskipun hasil pertanian utama mereka seperti padi, kentang, zaitun, (olives), anggur, domba, lembu, kambing, unggas, ayam itik, daging, juga kedelai dan jagung berkembang baik. Portugal juga dikelilingi oleh udara yang sejuk dan kondisi alam yang sangat indah, sehingga industri pariwisatanya juga sangat bagus.
Sementara porto sendiri, merupakan kota terbesar ke dua di Portugal setelah Lisabon. Arsitektur kota Porto terangkai oleh bangunan abad pertengahan yang berdiri kokoh melewati batas waktu. Kekokohan gedung-gedung tua inipun, tak sekadar berperan sebagai pembingkai sejarah kota Porto. Tetapi juga pemberi arti akan pentingnya sebuah kebesaran masa lampau.
Semangat dan jiwa kota Porto sebagian terepresentasikan pada sebuah klub sepak bola lokal bernama FC Porto atau Futebol Clube do Porto. Klub ini didirikan pada tahun 1893 oleh António Nicolau de Almeida. Dalam jajaran elit sepak bola Portugal FC Porto sejajar dengan Sporting Lisboa dan Benfica, sebagai tiga klub besar. FC Porto mempunyai stadion bernama Estádio do Dragão. Sebelumnya stadion ini bernama Estádio das Antas sebelum direformasi pada tahun 2003 lalu. FC Porto telah dua kali menjuarai Liga Champions. Pertama kali pada tahun 1987 dan 2004 lalu sekali menjuarai Piala UEFA di tahun 2003.
Indahnya Porto tidak hanya bisa dilihat ketika matahari memberi sinar dan menyulut warna perak di dinding-dinding kota. Tetapi juga saat temaram bulan melukis wajah Porto dengan mengguyurkan warna-warna kuning menyilaukan mata.

Thursday, April 3, 2008

“Surip”


Dari sebuah perbincangan ringan dengan Darwis lahirlah tulisan ini. Curahan sederhana dari sang fotografer tentang fotografi dunia yang begitu dicintainya....

Kita manusia diciptakan dari jalinan raga dengan panca indera lengkap disertai jiwa, roh juga impian, fantasi, dan nafsu. Semua kelengkapan tersebut tentu bukan sekadar atribut kosong. Karena masing-masing indera bahkan nafsu mempunyai tugas dan fungsi berbeda. Dan dari perbedaan fungsi itulah kita bisa belajar merasa dan mengerti tentang semua yang terjadi di alam ini, yang bisa menginspirasi kita dalam berkarya.
Suatu karya kreatif kadangkala lahir dari sesuatu yang tak pernah kita duga sebelumnya. Semuanya terjadi dalam sebuah momentum yang harus cepat kita tangkap. Tetapi tak jarang karya itu juga terjemahan dari apa yang kita rasa, kita lihat atau bahkan kita benci. Sehingga ada proses perjalanan dari sebuah pengamatan empirik, perenungan bahkan serangkaian mimpi dan fantasi panjang. Hingga semuanya berujung pada titik akhir sebuah eksekusi dengan konsep, visi, dan misi dan hasil baru sekaligus lain.
Seperti halnya yang terjadi pada sore itu saat Jakarta diguyur hujan lumayan lebat. Pada awalnya tak terpikir untuk bekerja di tengah guyuran hujan sekencang itu. Tapi entah kenapa ada sebuah dorongan yang membuat tangan ini tergerak untuk mengangkat kamera. Bekerja dalam situasi seperti ini tentu tak mudah. Banyak tantangan yang harus kita lalui. Mulai dari cipratan air yang bisa kena tubuh dan kamera sampai sulitnya mendapat lighting yang bagus. Tapi di satu sisi ada keuntungan tersendiri saat kita bekerja dalam tantangan seperti ini. Kita menjadi lebih fokus pada pekerjaan.
Dengan demikian kita harus bisa mengajak seluruh panca indera kita untuk tetap stabil sekaligus menisbikan segala gangguan yang ada di sekitar kita.
Berusaha untuk tetap stabil di segala kondisi bagiku mungkin tak terlampau sulit. Karena upaya ini telah biasa aku lakukan, tapi situasi menjadi sulit saat aku mengajak serta orang lain untuk melakukan hal yang sama. Mungkin ada satu hal yang harus dipahami, memotret bagiku adalah memasuki sebuh dimensi berbeda. Dengan kata lain pada saat memotret bisa jadi aku menjadi pribadi yang lain. Jadi secara tidak langsung saat aku memotret dengan dibantu orang lain berarti aku juga mengajak orang lain memasuki sebuah lorong dalam dimensi yang tak biasa.
Dalam dimensi lain ini segala sesuatunya tentu akan berbeda. Bahasa verbal tak lagi dominan dan bahasa rasa menjadi lebih berbicara. Hasilnya aku menjadi lebih peka dengan apa yang ada di sekitarku. Bahkan sekonyong-konyong aku bisa melakukan sesuatu di luar kendali saat lingkungan sekitar tak lagi sejalan denganku. Seperti membuang peralatan sampai tak bisa mengenali lagi orang-orang disekelilingku. Dan sore itu pengalaman aneh seperti terulang kembali. Entah karena apa secara spontan aku memanggil nama asistenku dengan nama Surip, padahal itu bukan namanya.
Dan aku baru sadar setelah pekerjaan usai, itupun karena diingatkan. Pada akhirnya aku semakin yakin bahwa fotografi telah membuat sebuah perbedaan bagiku. Setidaknya saat memasuki dunianya aku merasa seperti kehidupan lain yang tak kalah asiknya. Dan anehnya pada titik itu aku merasa nyaman sekali. Sampai sekarang aku tak tahu apakah ini sesuatu yang baik atau buruk. Tapi yang pasti sore itu aku cukup senang ditemani oleh “Surip”. Entah di hari lain siapa lagi yang dengan senang hati mau menemani aku, bisa saja Karto, Kasdi atau lainnya.