Dari sebuah perbincangan ringan dengan Darwis lahirlah tulisan ini. Curahan sederhana dari sang fotografer tentang fotografi dunia yang begitu dicintainya....
Kita manusia diciptakan dari jalinan raga dengan panca indera lengkap disertai jiwa, roh juga impian, fantasi, dan nafsu. Semua kelengkapan tersebut tentu bukan sekadar atribut kosong. Karena masing-masing indera bahkan nafsu mempunyai tugas dan fungsi berbeda. Dan dari perbedaan fungsi itulah kita bisa belajar merasa dan mengerti tentang semua yang terjadi di alam ini, yang bisa menginspirasi kita dalam berkarya.
Suatu karya kreatif kadangkala lahir dari sesuatu yang tak pernah kita duga sebelumnya. Semuanya terjadi dalam sebuah momentum yang harus cepat kita tangkap. Tetapi tak jarang karya itu juga terjemahan dari apa yang kita rasa, kita lihat atau bahkan kita benci. Sehingga ada proses perjalanan dari sebuah pengamatan empirik, perenungan bahkan serangkaian mimpi dan fantasi panjang. Hingga semuanya berujung pada titik akhir sebuah eksekusi dengan konsep, visi, dan misi dan hasil baru sekaligus lain.
Seperti halnya yang terjadi pada sore itu saat Jakarta diguyur hujan lumayan lebat. Pada awalnya tak terpikir untuk bekerja di tengah guyuran hujan sekencang itu. Tapi entah kenapa ada sebuah dorongan yang membuat tangan ini tergerak untuk mengangkat kamera. Bekerja dalam situasi seperti ini tentu tak mudah. Banyak tantangan yang harus kita lalui. Mulai dari cipratan air yang bisa kena tubuh dan kamera sampai sulitnya mendapat lighting yang bagus. Tapi di satu sisi ada keuntungan tersendiri saat kita bekerja dalam tantangan seperti ini. Kita menjadi lebih fokus pada pekerjaan.
Dengan demikian kita harus bisa mengajak seluruh panca indera kita untuk tetap stabil sekaligus menisbikan segala gangguan yang ada di sekitar kita.
Berusaha untuk tetap stabil di segala kondisi bagiku mungkin tak terlampau sulit. Karena upaya ini telah biasa aku lakukan, tapi situasi menjadi sulit saat aku mengajak serta orang lain untuk melakukan hal yang sama. Mungkin ada satu hal yang harus dipahami, memotret bagiku adalah memasuki sebuh dimensi berbeda. Dengan kata lain pada saat memotret bisa jadi aku menjadi pribadi yang lain. Jadi secara tidak langsung saat aku memotret dengan dibantu orang lain berarti aku juga mengajak orang lain memasuki sebuah lorong dalam dimensi yang tak biasa.
Dalam dimensi lain ini segala sesuatunya tentu akan berbeda. Bahasa verbal tak lagi dominan dan bahasa rasa menjadi lebih berbicara. Hasilnya aku menjadi lebih peka dengan apa yang ada di sekitarku. Bahkan sekonyong-konyong aku bisa melakukan sesuatu di luar kendali saat lingkungan sekitar tak lagi sejalan denganku. Seperti membuang peralatan sampai tak bisa mengenali lagi orang-orang disekelilingku. Dan sore itu pengalaman aneh seperti terulang kembali. Entah karena apa secara spontan aku memanggil nama asistenku dengan nama Surip, padahal itu bukan namanya.
Dan aku baru sadar setelah pekerjaan usai, itupun karena diingatkan. Pada akhirnya aku semakin yakin bahwa fotografi telah membuat sebuah perbedaan bagiku. Setidaknya saat memasuki dunianya aku merasa seperti kehidupan lain yang tak kalah asiknya. Dan anehnya pada titik itu aku merasa nyaman sekali. Sampai sekarang aku tak tahu apakah ini sesuatu yang baik atau buruk. Tapi yang pasti sore itu aku cukup senang ditemani oleh “Surip”. Entah di hari lain siapa lagi yang dengan senang hati mau menemani aku, bisa saja Karto, Kasdi atau lainnya.
2 comments:
Sore ini dapet sms dari Dodi kasih tau untuk cek site ini "temen gua, fotografer juga" katanya. ternyata baru satu artikel ya...
wira-wiri, dapet link indonesian photographer di footer, wah gua bener2 fotografer kuper masa baru tau :p
anyway, salam kenal dari arief_baskoro
Silakan mampir ke tutur documentary photography
weits... akrab bener nih ama Darwis Triadi :) keep posting ya cup..
Post a Comment