Wednesday, December 10, 2008

Cangkir Kecil Yang Ingin Bercerita



Kehadirannya mampu memberi panorama berbeda pada ranah musik tanah air. Ketika dia bercerita dengan musiknya itu biasa tetapi bagaimana saat Yuni merepresentasikan dirinya lewat sebuah buku.

Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan untuk mendamaikan hati yang gundah, terapi rekreatif bahkan bisa menumbuhkan jiwa patriotisme. Rangkaian dari tiap-tiap nadanya terkadang lebih bisa bercerita ketimbang kalimat terpanjang yang pernah disusun seseorang. Namun ada kalanya musik hanya bunyi kosong dan hampa belaka saat diwujudkan tanpa hadirnya sebuah jiwa. Memang dibutuhkan sosok dengan level tertentu agar bisa membawa musik dan lagu tersebut lebih punya rasa. Dan Yuni Shara bisa melakukannya.

Nama lengkapnya Wahyu Setyaning Budi, sosok imut yang bisa menempatkan kepopulerannya dengan interprestasi berwarna di benak masing-masing masyarakat. Orang-orang diberi ruang untuk mengenalnya dengan “wajah” beragam. Entah sebagi kakak dari seorang diva pop terkenal, mantan istri pengusaha, pelantun tembang melankolis tempo dulu, pemilik suara lembut sampai sosok penyanyi bertubuh mungil. Tapi diantara semua “berkah” tersebut dia tetap menonjol sebagai seorang penyanyi berkualitas yang hangat menyapa siapa saja. Kehangatan itu pun terasa saat dirinya menceritakan ihwal buku dan album guna menandai tetapak perjalanan usianya yang ke 35, Yuni beberapa waktu lalu. ”Judul albumnya Yuni Shara 35, dan untuk bukunya 35 Cangkir Kopi Yuni Shara,” paparnya diiringi tawa kecil.

Konteks untuk mencapai titik keberhasilan bagi masing-masing orang tentu berbeda, baik dari sisi pemaknaan maupun kenyataan. Pun sama halnya dengan Yuni dalam meretas jalan suksesnya. Diapun harus menyusuri lorong panjang permainan hidup yang terkadang tersenyum sinis atau manis terhadap dirinya. Tak berlebihan jika idiom cangkir digunakan untuk merefleksikan seorang Yuni dalam bermetamorfosis menjadi perempuan matang. Karena untuk membuat cangkir diperlukan tempaan dan pemanasan tinggi sebelum bersinar dan memiliki tampilan bagus. ”Dan itu sedikit banyak menggambarkan perjalanan hidup saya, yang sering menerima pengalaman pahit dan berat,” ujar ibu muda ini.

Abstraksi cangkir sendiri menurut Yuni adalah benda yang tidak perlu dipegang dengan keseluruhan tangan, tapi cukup usefull dalam mengusung tetes air kesejukan. “Kita cukup menggunakan dua jari kita saja untuk minum dari cangkir,” ujar perempuan kelahiran 3 Juni 1972 ini. Adapun sosok Yuni memang selalu bisa memberi kedamaian kepada teman-temannya. Menurut Tamara, Yuni tak pernah lelah meluangkan waktu sempitnya untuk teman dan saudaranya. Meski ada kalanya kerapuhan juga datang mendera.

Setidaknya gambaran itu terlihat saat Yuni membuka tirai kesedihannya dalam susunan kalimat sendu yang dia tulis di bukunya,” “Sebenarnya jenis perempuan macam apa aku ini tidak menjerit di kala sakit, tidak bergerak di kala memang waktunya harus pindah. Aku sebenarnya sudah sering menjerit tapi hanya di dalam hati, sampai aku sendiripun gak pernah denger suara hatiku sendiri.”

Di tengah sekian banyak gundukan asa pada album dan buku barunya, ada juga harapan sederhana,” Anak-anak saya baru latihan membaca jadi buku ini bisa jadi media untuk belajar.” Sepucuk keinginan sederhana dari seorang Bunda laiknya kebanyakan kaum ibu. Hal ini kian menandaskan bahwa menyandang predikat sebagai orang terkenal tak membuat Yuni terus mengawang. Sesekali dia ingin menjadi manusia biasa. Sejenak rehat dalam lelap, mendekap erat cinta Cello Obient Siahaan Cavin dan Obrient Salomon dua permata hatinya.

Tuesday, December 9, 2008

Fotografi Panggung


Gambar dari fotografi panggung harus bisa merepresentasikan suasana panggung dengan karakter yang kuat tanpa harus kehilangan nilai artistik sebuah foto.

Dalam siraman lampu beraneka warna wajah cantik beyonce dan liukan tubuh indahnya menggoda, secara sempurna berhasil dieksekusi dan disajikan dalam bentuk sebuah foto. Sang fotografer juga sangat jeli dalam mengexplore obyek bidikannya. Sehingga hanya lewat satu gambar seolah dia bisa menggambarkan seluruh pertunjukan Beyonce tersebut.

Fotografi panggung memang salah satu cabang fotografi yang unik. Karena saat terjun mendalaminya banyak faktor yang harus dikuasai di luar teknik fotografi itu sendiri. Seperti diungkapkan oleh Pinky Mirror, fotografer yang telah lama akrab dengan seluk beluk dunia fotografi panggung. “Untuk menghasilkan fotografi panggung yang baik pengetahuan fotografi saja tidak cukup, dibutuhkan pendekatan-pendekatan lain sebagai bekal tambahan,” tukasnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan lain pemahaman akan bentuk dan situasi pertunjukan yang akan difoto.

Karena dalam sebuah pertunjukan banyak aspek yang membentuknya mulai dari dekorasi panggung hingga penempatan fotografer itu sendiri. Jika buta sama sekali dengan kondisi tersebut tentu kita bisa mengalami sedikit kesulitan. “Karena itu sebelum melakukan pemotretan kita perlu mencari informasi sebanyak-banyaknya,” ujar Pinky. Salah satunya bisa dilakukan dengan cara mengikuti geladi resik (GR) sebelum pertunjukan. Bagaimanapun juga kondisi pertunjukan sangat unpredictable. Dengan persiapan matang berarti kita telah berada satu langkah di depan karena telah punya formula antisipasinya.

Di sisi lain dengan melakukan survei kita juga terbantu untuk membuat komposisi foto. Satu hal lagi yang harus dipahami dalam fotografi panggung sebagian besar dari obyeknya adalah bergerak. “Ada juga momen yang tak banyak gerak, tapi biasanya tak sebagus momen yang obyeknya gerak,” tegas Pinky. Selain itu dalam fotografi panggung kebutuhan lighting juga tidak bisa kita atur. Jadi kita harus siap dengan peralatan yang ada. Ketika kondisi tata cahaya minim mungkin bisa disiasati dengan ISO tinggi dengan tetap menggunakan speed lambat. Akan tetapi hal ini juga harus ditambah kemampuan ekstra dari fotografer, baik dari segi timing melepas rana maupun kemampuan hand-held yang baik.

Sementara dari segi peralatan unsur terpenting yang harus dipersiapkan adalah lensa. “Sebaiknya membawa lensa dengan bukaan 2.8 atau lebih besar. “Saya biasanya pakai 17-55/2.8 dan 70-200/2.8 serta dibantu 12-24/4,” tegas Pinky. Selain itu jika diperlukan dan memungkinkan ada baiknya menggunakan monopod. “Walau saya sendiri dulu juga nggak memakainya, terutama untuk lensa di bawah 300mm,” tambah Pinky lagi.

Sedangkan untuk tekniknya sendiri, Pinky menyarankan untuk menggunakan open lens. Dalam hal ini rata-rata f-nya adalah 2.8. Dengan sendirinya kecepatan akan ikut, tergantung sumber pencahayaan. “Menurut saya ISO 800-1600 sudah ideal, dan jangan takut sama noise. Foto yang bagus biarpun noisy tetap saja bagus. Sesekali dicoba bermain panning, atau double exposed,” ujar Pinky. Tiap pemotretan panggung pasti mempunyai momen dan nuansa berbeda, namun ada beberapa kunci yang harus dipegang sehingga dalam tiap kesempatan tetap bisa mendapatkan hasil yang bagus. “Jangan cepat puas, coba terus cari angle-angle yang berbeda,” tambah Pinky lagi.

Lalu bagaimana ketika saat memotret kita berada dalam posisi yang kurang menguntungkan? Jalan keluar terbaik adalah jepret beberapa gambar dulu dan kalau bisa pindah lokasi. “Tapi jika tidak bisa pindah lokasi ya sudah terima nasib aja,” canda Pinky sambil tertawa. Dalam kasus tertentu Pinky mencontohkan saat memotret konser Beyonce, dan posisi fotografer media ditaruh paling belakang. Mengandalkan lensa yang ada (70-200) dia memilih untuk mengambil foto suasana panggung dengan bantuan giant scree.”Hasilnya standar, tapi lumayan masih bisa dipakai untuk editorial,” pungkasnya.



Berikut beberap tipsdari Pinky mirror untuk melakukan pemotretan panggung.
1. Membawa CF/SD card sebanyak mungkin.
2. Mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, misalnya:
-Cari tahu berapa lagu yang akan dibawakan hingga berapa kali artis ganti baju.
-Dari mana openingnya dan seperti apa begitu juga dengan closingnya.
-Pelajari adegan-adegan penting sekiranya ada.
-Pahami kondisi panggung dengan menyempatkan diri mengikuti geladi resik.
-Pelajari denah panggung dan seat layoutnya.
3. Kalau segerombolan fotografer sudah berada di satu titik, usahakan jangan ikut di situ lagi. Kecuali memang ingin bermain safe. Bermain safe memang menghasilkan foto yang bagus, tapi belum tentu 'dahsyat'.
4. Jangan pakai baju yang berwarna mencolok, apalagi sok naik ke samping panggung.

foto.detikhot.com

Thursday, December 4, 2008

Unik dan Penuh Kejutan





Kamera dengan basis teknologi digital memang menjanjikan sesuatu yang beda tapi bukan berarti kamera dengan basis teknologi yang lain tak menyimpan sensasi tersendiri, contohnya adalah kamera LOMO.

Memotret kini tak lagi sekadar bagian dari hobi tetapi telah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Adanya teknologi digital yang memudahkan segalanya membuat semua orang bisa menjadi pelaku dan penikmat fotografi dalam satu waktu. Fotografi seolah telah berubah menjadi sesuatu yang “instan”. Namun diantara gegap gempitanya teknologi digital beserta semua perangkat di dalamnya ternyata ada sisi lain dari fotografi yang riaknya kurang begitu terlihat. Dialah Lomografi sebuah teknik atau aliran fotografi yang mengabaikan segala aturan, pakem, atau batasan-batasan dalam fotografi secara umum.

Kenapa demikian? Sebab para fotografer yang menggunakan teknik lomografi atau biasa disebut lomografer seakan berkarya dengan mematahkan teknik fotografi yang berlaku. Mereka memotret tanpa memperhitungkan rana, diagfragma, shutter, pencahayaan, ataupun detail lain yang selama ini menjadi panduan dasar fotografi. Hal tersebut dimungkinkan karena para lomografer tersebut bekerja dengan bantuan kamera bernama Leningsradskoye Optiko Mechaninicheskoye Obyedinenie atau biasa disebut LOMO.

Kamera ini awalnya diproduksi Uni Soviet pada tahun 1982 atas ide Michail Panfilowitsch Panfiloff, direktur dari Lomo Russian Arms and Optical Factory dan masih berbasis pada teknologi film rol seluloid. Lomo sendiri merupakan nama perusahaan Rusia yang membuat perangkat optik semacam kamera, mikroskop dan teleskop. Di era Perang Dunia (PD) 2, Lomo merupakan pemasok peralatan perang bagi mililiter Rusia. Bahkan ketika itu, hampir semua agen khusus Rusia menggunakan perangkat optic dari lomo pada saat menjalankan tugasnya.

Adapun kamera Lomo yang pertama kali dibuat adalah Lomo Kompakt Automat atau lebih dikenal dengan sebutan LC-A. Kemudian dalam perkembangannya jenis kamera lomografi makin beragam. Dimulai dari berlensa empat atau biasa dikenal dengan sebutan Lomography Supersampler Camera, yang berlensa sembilan atau biasa disebut Pop 9. Selain itu ada juga beberapa seri lain seperti: Holga kit, Colorsplash camera, Horizon 202, Pop 9, Action sampler, Cybersampler, Super Sampler, 3D Camera set, Smena 8 dan Seagull TLR.

Kamera Lomo memang menyimpan banyak keunikan jika dibandingkan dengan kamera kebanyakan. Bak menyimpan misteri tiap frame yang dihasilkan oleh kamera Lomo selalu menampilkan kejutan mulai dari warna hingga hal-hal menarik lainnya. Konon hal ini disebabkan oleh lensa lomo yang katanya memiliki cacat. Namun kelemahan inilah yang menjadi kelebihan dari kamera lomo itu sendiri. Akibat dari cacat tersebut hasil jepretan kamera lomo menjadi sangat khas dan unik. Kita bisa menemukan warna khas lomo yang sulit dihasilkan oleh kamera biasa.

Di bagian tertentu seperti sudut frame, terkadang muncul warna gelap yang sehingga mampu membentuk kesan artistic. Ketika kita melakukan pemotretan dalam kondisi pencahayaan yang normal bisa saja muncul unsur warna biru, merah kuning danwarna lainnya. So amazing. Seperti contohnya kamera LOMO LCA 35 mm ini. Dengan lensanya yang tidak biasa maka dia sanggup menghadirkan distorsi pada bagian tepi gambar sedangkan gambar yang jernih ada pada bagian tengah.

Hebatnya lagi, kita bisa menghasilkan beberapa frame sekaligus hanya dengan sekali jepret. Hal ini disebabkan oleh lensa dalam kamera lomo yang tidak hanya satu buah seperti disebutkan di atas bahwa dalam satu buah kamera lomo bisa terdapat empat hingga sembilan lensa sekaligus. Kejutan lainnya, setiap kamera lomo seolah mempunyai “otonomi” masing-masing dengan kelebihan sendiri-sendiri. Jadi antara stu kamera dan kamera lainnya dipastikan menyimpan kejutan sendiri sewaktu digunakan untuk membidik obyek yang sama dan dalam waktu yang sama dan dengan teknik yang sama pula.

Tak berhenti di situ kamera lomo juga sangat adaptif digunakan untuk bereksplorasi. Salah satunya digunakan untuk melakukan eksperimen dengan menggunakan film slide kedaluwarsa. Film tersebut kemudian diproses seperti mencuci film biasa atau istilahnya cuci crossing. Hasilnya adalah sebuah foto dengan warna yang tak lazim dan aneh. Hasil-hasil mengejutkan semacam inilah yang membuat para lamografer semakin tertantang membuat hal-hal yang lain dan baru. Bahkan beberapa lomografer tak segan-segan memodifikasi kamera meraka dengan hal-hal yang ekstrim.

Lomografi juga menghadirkan gaya fotografi yang berbeda. Gayanya lebih kasual dan dekat dengan gaya snapshot. Seperti diceritakan di atas bahwa lomografi selalu memberikan sentuhan lain oleh karena itu gangguan foto seperti over-saturated colors, lens artifacts, dan cacat gara-gara exposure justru lebih ditunggu. Beragam gambar dengan efek yang sifatnya abstrak menjadi poin paling penting, dan menjadi hal paling dinantikan. Selain itu kamera lomo juga menyimpan kelebihan yang lain yaitu bentuknya yang relative ringkas sehingga untuk dibawa ke mana saja sangat mudah dan nyaman. Apalagi kamera lomo juga mempunyai kemampuan yang cukup bagus untuk mengambil gambar dengan cahaya rendah.

Memang, hasil memotret dengan kamera lomo tidak bisa langsung dilihat seperti kamera digital. Tapi disitulah seninya karena kita harus menunggu sampai proses pencucian selesai. Dan begitu melihat hasilnya kita mendapat kejutan tersendiri. Satu hal lagi yang patut dicatat harga kamera lomo tak terlampau mahal dan untuk menggunakannya tak perlu dituntut kemampuan penguasaan teknik fotografi secara mendalam. Saat ini di beberapa kota besar juga sudah banyak muncul komunitas pecinta kamera lomo atau lomografer seperti laiknya komunitas pecinta fotografi lainnya. Bagi Anda pecinta kejutan tak ada salahnya mencoba keunikan kamera ini.


foto dari www.lomography.com
karya SUGIYAMASATOMI
berjudul Sorrounded by the trees and sky

Tarutung Sebuah Cerita Dari Utara Andalas


foto dari photobucket.com




Di Kota Tarutung ibukota Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara ini tertinggal jejak masa lalu yang membentuk peradaban batak.

Kabupaten Tapanuli Utara memiliki berbagai potensi alam, budaya dan sejarah yang dapat digali serta dilestarikan untuk menjadi salah satu aset dalam mendukung pengembangan sektor pariwisata. Potensi tersebut sangat berhubungan dengan daya tarik dan nilai obyek-obyek wisata yang tersebar di Tapanuli Utara yang terdiri atas obyek wisata rohani, alam, sejarah serta hutan.

Keindahan perjalanan menuju Tarutung ibukota Kabupaten Tapanuli Utara mulai terasa saat mendekati Siantar. Apalagi saat memasuki penggalan sekitar Danau Toba, di daerah Prapat. Setelah hampir lima jam menempuh perjalanan dari Medan akhirnya sampai juga kaki ini menjejak kota Tarutung.Nuansa kebesaran pulau Andalas masih terasa kental memagari kota ini. Berdiri dalam jajaran daerah Rura Silundung serta dikelilingi oleh pegunungan hijau yang berdiri kokoh Tarutung memulai cerita.

Legenda kepahlawanan Sisingamangaraja menjadi cerita pembuka yang susah dipisahkan dari daerah ini. Kota Tarutung terdiri dari satu wilayah Kecamatan yang dibelah oleh aliran Sungai Sigeaon. Di kota ini ditemukan kantor Pusat HKBP lembaga gereja terbesar di Asia Tenggara. Tarutung juga dikenal sebagai daerah wisata rohani bagi kaum nasrani. Bukit Monumen Salib Kasih di puncak Dolok Si Atas Barita adalah salah satu tempat yang biasa dituju.

Sekitar 38 km dari kota Tarutung terletak lokasi panorama Huta Ginjang. Berada di Huta Ginjang serasa di obyek wisata Sipinsur Desa Pearung Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan. Karena dari kedua obyek wisata itu terlihat langsung enam kabupaten Taput, Humbang Hasundutan,Tobasa, Samosir, Dairi dan Simalungun. Lokasi Huta Ginjang seolah tertanam di angkasa raya. Karena dari sana kita bisa leluasa memandang Pulau Samosir, Danau Toba, Pulau Sibandang dan areal persawahan serta perumahan di pinggiran Danau Toba.

Keaslian wajah Tarutung makin terasa saat memasuki perkampungan, tempat para penduduk asli merenda hari-hari mereka. Interaksi sosial yang mereka jalin terbalut oleh kekentalan budaya asli yang relatif belum banyak tergores. Senyum ramah tak henti menyapa pada siapapun yang datang menyibak suasana desa mereka. Suasana ceria tetap tergaris jelas pun saat mereka tengah bekerja atau sekadar bercanda bercengkrama bersama keluarga.
Tatkala melewati sebuah bukit, dari balik-balik rerimbunan pohon dan tanaman perdu yang banyak tumbuh di pinggir jalan tampak hamparan padi mengkilat kuning. Tak terbayangkan seandainya sinar matahari pagi tengah jatuh di permukaan lukisan alam yang tenang itu. Meski belum sempat merasakannya tetapi keheningan sore itu tetap membiaskan eksotisme Tarutung. Cerita perjalanan ini seolah ditutup oleh keindahan mentari saat mulai menyusup di rerimbunan cakrawala dan meninggalkan garis ungu di langit.

Monday, December 1, 2008

Sigit Pramono dan Hobi Yang Menyeimbangkan







Fotografi bagi Sigit tak sekadar hobi. Dia berharap lewat karya-karyanya dia ingin memberikan inspirasi kepada masyarakat, agar lebih peduli terhadap alam.

Keseimbangan biasanya sanggup menghasilkan sebuah harmoni. Karena lewat alur yang berimbanglah maka antara satu item dengan item lainnya bisa saling berkait dan mengisi satu sama lain. Maka tidak heran jika seorang seorang Sigit Pramono juga menerapkan filosofi keseimbangan dalam menjaga ritme kesehariannya. Duduk sebagai Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia, Tbk seringkali menempatkan dirinya pada sebuah rutinitas pekerjaan yang lebih “memaksa” sisi rasionalitasnya bekerja. Karena itulah diperlukan media pelepas stress sebagai penyeimbang bagi emosinya.

Diantara media pelepas stress yang ada Sigit menjatuhkan pilihan pada fotografi, sebuah dunia yang telah diakrabinya semenjak SMA. Lalu mengapa fotografi? Menurut Sigit ada kenikmatan yang tidak bisa dijelaskan ketika menjalani hobi ini. “Enaknya itu gimana ya, pokoknya setiap kali jari menekan tombol shutter ada sesuatu yang mengalir langsung ke hati,” ujar Sigit sembari tersenyum penuh makna. Meski berperan sebagai hobi, bagi Sigit fotografi tidak hanya berperan sebagai penuntas dahaga emosi saja. Ada kalanya pada level tertentu Sigit menjalankan hobinya ini secara serius.

Mungkin masih lekat di ingatan kita bagaimana pria berkacamata ini sukses mengadakan pameran foto yang menghasilkan rekor penjualan fastastis hingga Rp 5,55 miliar. Meski demikian ketika ditanya soal tersebut Sigit hanya memberikan senyuman saja tanpa jawaban ekspilist. Bahkan kemudian dia memberikan memberikan pernyataan lain “Saya ingin melakukan pameran lagi tapi waktunya belum bisa dipastikan,” ujarnya. Mengadakan pameran sendiri bagi Sigit merupakan wadah untuk menunjukkan ekspresi karyanya dan bukan untuk mencari keuntungan. Karena semua hasil pameran karya-karyanya langsung disumbangkan ke yayasan pendidikan yang dimiliki Bank BNI.

Menempatkan Sigit sebagai seorang fotografer maka saat ini dia lebih dikenal sebagai fotografer yang pandai membingkai obyek-obyek landscape dan panorama. “Sebenarnya saya juga senang dengan obyek human interest,” tambah Sigit. Foto-foto yang ditampilkan oleh Sigit memang mempunyai kesan yang kuat pada sisi komposisi dan pencahayaan. Luksian-lukisan alam yang terhampar mampu dialihkan lalu dibingkainya ke dalam foto dengan porsi yang pas, bahkan saat obyek itu harus “dipotong” sekalipun. “Obyek panorama atau human interest sesungguhnya tidak bisa diatur-atur dan disinilah kepekaan kita diuji,” ujar Sigit. Dan ada kalanya untuk mendapatkan sebuah gambar yang bagus Sigit harus sabar menunggu sampai obyek yang diinginkannya melambaikan guratan-guratan ajaib. “Saya pernah motret itu senja semburatnya bukan hanya jingga, tapi juga ungu, indah sekali,” ujar Sigit sambil menunjukkan foto tersebut.

Lalu pada saat ditanya apakah untuk mematangkan semua teknik fotografinya Sigit pernah belajar secara formal? Dia menjawab tidak. “Saya lebih banyak belajar sendiri, praktik, baca buku, diskusi dengan rekan-rekan yang punya hobi fotografi,” tukasnya. Dan menurut Sigit pada dasarnya semua orang bisa memotret. Meski selanjutnya akan ada hal-hal yang membedakan terutama soal cara memandang sebuah obyek. “Memang ada beberapa orang yang dibekali talenta. Tapi bagi saya yang penting adalah berlatih, mengasah teknik dan rasa,” ujar Sigit.

Untuk mencari obyek yang menarik pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 14 November 1958, ini acap kali memanfaatkan waktu senggang di akhir pekan atau disela-sela tugasnya ke luar negeri. Pasar ikan di Muara Karang atau Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi tempat yang sering dikunjungi. “Saya pernah juga ke Papua,Tanatoraja, Lombok, NTT, Bali dan beberapa daerah di Sumatera,” ujar pemilik kamera pertama Asahi Pentax K-1000 ini. Puncak pegunungan di Amerika yaitu Carylab juga pernah disinggahinya. Bahkan menurut Sigit dia mendapatkan gambar yang sama sekali di luar perkiraannya. “Waktu itu kan musim gugur, jadi saya mengejar keindahan warna-warni daun pada musim tersebut. Tetapi pas sampai sana sudah mendekati musim dingin jadi terlambat” ujar Sigit.

Tetapi kenyataan tersebut justru memberikan pengalaman menarik bagi dirinya. Air-air yang sudah mulai membeku ternyata mampu menyuguhkan pemandangan tersendiri. “Ternyata di sana setiap waktu, punya keindahan sendiri-sendiri. Musim salju pun bisa terlihat luar biasa,” ungkap Sigit. Namun bukan berarti Sigit tidak pernah mengalami kejadian naas saat berburu foto. Kejadian di tembok China bukan hanya terekam lekat di memorinya tetapi juga menyisakan sakit pada kakinya. “Saya salah mendaratkan kaki, akibatnya samapai sekarang kalau buat nekuk kaki saya masih sakit,” ujar Sigit sembari memegangi kakinya.

Perkembangan teknologi dengan perangkat lunak fotografi juga tidak lepas dari pengamatan Sigit. “Teknologi memang akan terus berkembang tapi secara esensi karena kamera itu hanya alat dan semuanya kembali kepada kita,” ujar Sigit. Pun demikian pula dengan perkembangan digital imaging yang terus meluas akhir-akhir ini. Menurut Sigit membuat gambar menjadi lebih bagus itu tidak menjadi soal asal jangan memanipulasi. “Makanya saya tetap mau jadi fotografer bukan photoshoper,” ujar Sigit bercanda. Sigit juga masih menyimpan keinginan bahwa lewat foto perhatian pemerintah maupun masyarakat bisa lebih aware dengan alam. “Bicara soal fotografi di Amerika, fotografer bisa “memprovokasi” pemerintah sehingga memperhatikan taman nasional yang dulunya tidak diperhatikan,” ujar Sigit.


foto sigit pramonophotography.com