Wednesday, April 14, 2010

Dua Senyawa

Bir pertama terbuka. Disaksikan 1 meja 3 bangku. Dua senyawa bertemu. Lalu dari sanalah cerita hidup mulai terurai. Tentang kesederhanaan, kompleksitas, renik hingga cita-cita. Semua dirangkum. Dalam ikatan semangat yang tak ingin mengingkari peradaban diri. Bahwa hidup sesungguhnya dibentuk dan diakhiri oleh kesenangan. Itulah hakikat yang kita imani. Dua senyawa pecinta bir yang menikmati dengan cara beda. Satu memuja rasa satu memuja buih.

Bir ke dua terbuka. Kaki dua senyawa mulai meninggalkan tanah. Bukan oleh aroma alkohol tapi imaji yang semakin menari. Dalam titik ini, dua senyawa coba mencerna keraguan dan kebimbangan—yang kadang terdengar seperti kata lain dari pencarian. Hidup, apa pun jadinya, memang tak ditindih oleh sekat, meski tak sepenuhnya lepas dari ikatan. Hidup adalah ini hari dan esok. Meinggalkan kemarin yang berserak atau rapi tertinggal. Membersihkan jalan yang harus diretas. Demi sebuah tujuan yang tak sepenuhnya terlihat, sebagian samar dan lainnya sama sekali gelap.

Bir ke tiga terbuka. Bersama buih dua senyawa semakin mengapung. Memandang dari atas mencari serpihan yang terjatuh. Lalu masing-masing menuliskan episode cerita pembebasan dan penemuan kembali yang selama ini belum pernah didengar dunia atau belum saatnya didengar dunia. Dua senyawa setuju untuk tidak sepenuhnya mengikuti rujukan definisi tapi lebih mengikuti tuntunan interpretasi. Rupanya waktu membawa dua senyawa pada pesimpangan yang tepat. Jalan untuk memulai sebelum hari benar-benar berhenti.

Masih banyak bir yang harus dibuka......
(thank’s to Agan Harahap untuk buihnya)