Wednesday, January 7, 2009

Indra Leonardi, Emosi Sebuah Foto



(Garin Nugroho salah satu foto karya Indra yang pernah dipamerkan)


Bagi Indra Leonardi, menjadi fotografer lebih dari sekadar meneruskan usaha tradisi keluarga. Menurut pandangannya meski lahir dan besar di dunia fotografi, belum tentu orang bisa menjadi fotografer yang baik.

Tak berlebihan memang jika Indra Leonardi dikenal sebagai seorang fotografer Potraits yang cukup disegani. Kemampuannya untuk membawa emosi obyek ke dalam fotonya demikian menyentuh. Dengan jenius dia mampu menggabungkan teknik fotografi, emosi dirinya dan sang obyek ke dalam estetika gambar yang berkarakter. Interaksi itu terjalin mulus seolah tanpa beban sehingga emosi yang keluar adalah sebuah tautan yang tidak saling tumpang tindih antara karakter fotografer dan obyek.

Dunia fotografi sendiri sejatinya merupakan dunia yang telah lekat pada diri Indra semenjak kecil. Ayahnya adalah seorang fotografer sekaligus pendiri studio King Foto. “Jadi bagi saya fotografi sudah menjadi aliran darah,”ujar Indra. Namun bukan hanya alasan itu yang membuat Indra tergerak untuk mengetahui fotogarfi lebih jauh. “Sebenarnya di luar pengaruh ayah, saya memang telah tertarik dengan seni. Mulai lukisan, patung, arsitektur, disain termasuk fotografi,”papar Indra.

Untuk lebih mendalami fotografi Indrapun belajar di Brooks Institute of Photography Santa Barbara, Amerika Serikat. Hasilnya, Indrapun mempunyai bekal teknik fotografi yang lebih matang. “Dengan basic yang baik akan mempermudah kita dalam melakukan eksperimen-eksperimen baru,” paparnya. Pada awal berkarya Indra mengaku terinspirasi oleh foto-foto yang mempunyai rasa hingga menembus dimensi tertentu. Menurut Indra, “Karya yang bagus dari fotografer manapun menjadi masukan penting sekaligus sumber saya berimajinasi.”

Seiring bergulirnya waktu Indra akhirnya menemukan tastenya sendiri. Taste sendiri menurut Indra merupakan nilai lebih dari seorang fotogrfer. “Photography is general but style is personal,” paparnya. Dan untuk menemukan style tersebut dituntut kejelian untuk bisa melihat kelebihan atau kekurangannya diri sendiri. Dan baginya seorang fotografer harus percaya bahwa foto yang akan dibuat besok atau hari ini merupakan karya terbaik. Dengan demikian muncul stimulus untuk bisa berkarya lebih baik lagi.

Fotografer Potraits dan Seratus tokoh
Menjadi fotografer portrait pada dasarnya bukanlah profesi yang mudah. Menurut Indra proses kreatifnya selalu penuh tantangan. “Kita harus mendapatkan soulnya.Untuk itu saya harus menyerahkan jiwa saya sebelum menghadirkan jiwa orang tersebut ke dalam fotografi yang saya buat,” tuturnya. Dalam mendapatkan jiwa itu biasanya Indra akan membangun sebuah hubungan psikologis yang kuat, guna menarik keluar sisi terdalam mereka. “Biasanya kita ajak dia ngobrol, lihat rumahnya, cara berjalan, berpakaian dari situ bisa terlihat karakternya. Dan pasti masing-masing orang pasti berbeda meskipun mereka dilahirkan kembar,” tukas Indra.
Dan belum lama ini tepatnya pada tanggal 24 Maret-1 April Indra berhasil “merekam” seratus tokoh dalam pameran sekaligus peluncuran buku berjudul Indonesian Portraits. Dalam kesempatan tersebut Indra menghadirkan wajah-wajah “besar” Indonesia seperti sineas Garin Nugroho, koreografer Sardono W. Kusumo budayawan WS Rendra, pengusaha Bob Sadino, penyanyi Titi DJ, petinju Chris Jon sampai pada Presiden Susilo Bambang Yudhono.
Dengan takaran foto yang luar biasa Indra tetap melakukan pendekatan yang “sederhana” dalam memotret. “Secara teknik Pencahayaan dalam pemotretan saya rata-rata simpel walaupun kadang ada beberapa juga yang ribet,” ujarnya. Dengan tujuan mengeluarkan jiwa objeknya maka Indra lebih menitik beratkan sisi tersebut ketimbang yang lain. “Pada saat pemotretan terutama yang ada karakter saya lebih mementingkan aura dari orang itu. Jadi waktu motret saya sudah tidak memikirkan apakah lampunya nyala atau tidak nih, lightingnya f-berapa,” paparnya.

Selain itu previsualisasi menurut Indra juga penting sehingga sebelum memotret kita sudah punya gambaran kira-kira foto saya kalau sudah jadi nantinya seperti apa. Sebagai senjata Indra mengandalkan Canon 1 Ds Mark II. Menurutnya kamera ini sesuai dengan karakternya dengan kepraktisan dan kecepatannya. Bagi mereka yang berniat menjadi fotografer yang baik Indra mempunyai pesan,”Dont stop learning. Kita punya dua kuping dan satu mulut musti banyak menerima masukan, dan yang paling penting Be your self, idealisme harus ada meski harus tetap fleksibel.”

artikel pernah dimuat di majalah Indonesian Photography edisi III

No comments: