Tulisan yang aku posting ini sebenarnya salah satu naskah yang aku kirimkan untuk sebuah lomba dengan tema lingkungan. Tulisan biasa bahkan cenderung bias tidak jelas tidak punya visi dan tujuan pasti. Seperti biasa laiknya orang yang suka-suka cari alasan untuk menutupi kekurangan pun aku juga demikian. Dimulai dari pengerjaannya yang cuma 1 hari padahal panitia memberi waktu tiga untuk menulis dan mengumpulkan bahan. Dua bulan plus 29 hari tidak aku manfaatkan. Alasan klasiknya sibuk padahal maleeees.
Tapi dibalik ini semua ada sedikit hal mneyenangkan karena gara-gara naskah ini aku jadi sedikit intens berhubungan dengan dewi lestari meski cuma lewat email. Kenapa bisa demikian? karena hampir naskah yang aku biki inspirasinya dari tulisan soal lingkungan yang dia buat. Jadi sebelum menulis aku minta ijin dari dia, dan dari situ kita jadi lumayan intens berhubungan. Lalu bagaimana naskah yang hancur itu inilah dia....
Memupuk Harapan Untuk Bumi Lebih Indah
Tak ada yang lebih menggairahkan dalam hidup ini selain tetap menyimpan suatu harapan. Bak sebuah oase di tengah gersang, harapan selalu dapat melahirkan keajaiban tak terduga-duga, menggerus pesimisme yang menumpuk hingga membawa kita pada jutaan ketakjuban. Kita percaya bahwa harapan yang ditunjang oleh keinginan kuat mampu mereduksi segala kemuskilan. Membuat sesuatu yang mengawang menjadi sesuatu yang nyata. Maka tak terlampau berlebihan jika kita juga meletakkan harapan sebagai tiang besar untuk menyangga kelangsungan bumi ini. Sebuah harapan untuk membuat wajah bumi ini kembali tersenyum senang, bahkan jauh lebih riang. Lalu harapan seperti apa yang bisa kita letakkan untuk memperpanjang masa depan bumi ini?
Harapan akan terpantiknya kesadaran dari tiap-tiap individu untuk berperan bersama menyelamatkan bumi dengan cara masing-masing sesuai kapasitas masing-masing. Harapan agar semakin banyak kebijakan-kebijakan dari para pemegang kendali Negara yang meletakkan pertimbangan ekologis sebagai rujukan utama. Terbitnya kesadaran dari setiap individu akan menjadi modal yang kuat untuk menyokong gerakan-gerakan “sporadis” yang selama ini terus diupayakan oleh para pecinta lingkungan tapi hanya menjadi riak kecil di tengah gelombang ketidakpedulian. Gerakan yang dimulai oleh kesadaran mempunyai potensi besar untuk berkembang. Bak sebuah percik api yang suatu saat bisa membara ataugelombang kecil yang bisa bermutasi menjadi tsunami.
Data-data yang menunjukkan betapa sakitnya bumi ini sudah terpampang di depan mata secara jelas dan gamblang. Hal ini seharusnya bisa menjadi motivasi bagi siapapun yang masih ingin menyelamatkan bumi ini agar tetap berputar pada porosnya. Kita bisa ambil contoh kerusakan lingkungan dari hutan-hutan yang ada di Indonesia. Ada sebuah catatan mencengangkan dari World Resource Institute (1997) bahwa hutan asli Indonesia ternyata telah raib sekitar 72 persen dalam jangka waktu yang sangat singkat. Catatan lain dari Kompas juga menyebutkan jika dalam periode tahun 2000-2005, seluas 5,4 juta hektar hutan Indonesia sudah terbabat dan menyisakan penderitaan bagi makhluk hidup yang ada di dalamnya termasuk manusia itu sendiri.
Padahal jika kita merenung sejenak mengingat romansa masa lalu betapa Indonesia dianugerahi alam indah subur yang menyejukkan. Negara kepulauan yang sanggup membelalakkan mata siapa saja karena bentangan hijau hutannya di sepanjang garis katulistiwa. Tanaman apa saja bisa tumbuh di sana. Bahkan menurut lagu, tongkat dan kayu pun bisa hidup. Belum lagi soal sumbangan hutan Indonesia bagi paru-paru dunia. Indonesia memiliki10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia juga memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Bahkan sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Sekarang apa yang tersisa. Hanya celah-celah tanah kerontang yang gersang, tandus, dan garang. Ironisnya, semua kerusakan tersebut kebanyakan disebabkan oleh tingkah polah manusia. Penebangan hutan yang serampangan dilakukan tanpa kendali. Faktor ekonomi diduga menjadi trigger paling besar yang mengakibatkan terjadinya deforestasi tersebut. Alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau; dan Banyuasin, Sumatera Selatan, adalah contoh sahih.
Tentunya dengan semakin berkurangnya jumlah hutan “sehat” di Indonesia, maka sebagian besar wilayah Indonesia menjadi kawasan yang rentan bencana. Tak heran jika rangkaian bencana seperti: kekeringan, banjir, tanah longsor kerap terjadi di beberapa kawasan Indonesia. Bakornas Penanggulangan Bencana (2003) melansir sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat 647 kejadian bencana di Indonesia melenyapkan 2022 korban jiwa dengan kerugian milyaran rupiah. Dan dari kejadian tersebut 85%-nya adalah bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Meskipun demikian, sikap mengkambinghitamkan orang lain sebagai pihak paling bertanggung jawab atas semua kejadian ini bukan sebuah sikap yang bijak. Sementara di sisi lain kita hanya menempatkan diri sebagai malaikat yang kalis dari dosa dan tak punya andil terhadap kerusakan alam ini. Alam dan lingkungan ini adalah bagian dari seluruh makhluk hidup yang ada di atasnya. Masalah yang di dalamnya juga merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi semua pihak tanpa terkecuali untuk menuntaskannya. Kalau mau jujur meruntut segala hal yang kita lakukan di bumi ini, pasti ada beberapa bagian dari tingkah kita yang memberikan imbas negatif terhadap lingkungan. Mungkin kita tidak menjadi bagian integral dari kumpulan maling kayu di tengah hutan Kalimantan atau anak buah dari para taipan hitam yang tanpa ragu melakukan illegal loging. Tapi kita pasti pernah melakukan aktivitas kecil yang secara tidak sengaja membuat bumi ini terengah-engah menyangga dampaknya.
Salah satu contohnya adalah saat kita membuang bungkus plastik dari makanan yang kita konsumsi. Perbuatan sepele ini ternyata sanggup membawa masalah bertele-tele. Sebagaimana kita tahu plastik adalah benda yang terbuat dari bahan yang sangat sulit diurai dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk musnah. Artinya kita memberikan pekerjaan rumah yang sangat panjang bagi bumi ini untuk menghapus jejak bungkus plastik yang kita buang. Lalu upaya apa yang bisa kita lakukan untuk sedikit mengurangi dosa kita dalam mendzalimi bumi. Langkah pencucian dosa bisa dimulai dari sesuatu yang ringan seringan kita membuang sampah dari bungkus plastik. Barangkali tak terlampau berat jika kita mau menggunakan listrik secara bijak, menghemat air, memisahkan sampah-sampah organik non organik, mulai mengurangi “konsumsi” plastik dan kegiatan berguna lainnya.
Apakah upaya kecil tersebut cukup memberikan dampak bagi kelangsungan bumi? Kita tidak pernah tahu. Tugas kita hanyalah berbuat sesuatu bukan bertanya tapi nihil tindakan dan respon. Lalu biarkan alam mengurai semua upaya kita dengan mekanismenya. Dan suatu saat bumi akan memberikan jawaban kepada kita di waktu yang tepat. Kita juga tak perlu terusik oleh sinisme yang mengemuka seperti pernyataan, “Apa arti perbuatan kita kalau kenyataannya kita bergerak sendirian, sementara orang-orang yang paling bertanggung jawab di luar sana tenang-tenang saja menjalani hidup.”
Saya sendiri tak terlampau terganggu dengan pernyataan-pernyataan seperti di atas. Karena intensitas saya mencintai bumi lebih disebabkan oleh kebutuhan diri sendiri. Saya masih ingin lebih lama tinggal di bumi ini dengan tenang. Saya masih ingin melihat anak saya bisa tersenyum tiap hari dengan asupan cahaya matahari yang sehat dan suplai oksigen yang memadai. Egois memang, tapi itulah cara terbaik bagi saya untuk terus membakar rasa peduli pada bumi yang terkadang pasang sesekali surut. Kecil memang tapi lebih baik ketimbang diam tak bergerak ke mana-mana. Meski di sudut lain saya tetap menyimpan harapan bahwa perbuatan kecil saya bisa menimbulkan sinyal positif yang bisa menyebar sekaligus memberikan vibrasi yang positif pula. Harapannya riak kecil yang kita lakukan sanggup menarik riak lain untuk berkumpul dan menciptkan sebuah gelombang besar.
Dalam skala lebih luas sebenarnya masih banyak hal yang bisa kita perbuat. Rajendra Pachauri, ketua badan PBB Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dalam konferensi persnya di Paris, 15 Januari 2008, mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk tidak makan daging, menggunakan sepeda sebagai alat transportasi atau menjadi konsumen yang hemat. Mengapa makan daging justru menjadi prioritas pertama? Menurut Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) produksi daging ternyata mengakibatkan nyaris seperlima dari efek gas rumah kaca. Mengapa? Itu terjadi karena pembuatan makanan ternak terutama hewan pemamah biak seperti sapi menghasilkan emit methane yang 23 kali lebih efektif mengakibatkan pemanasan global ketimbang karbondioksida dari asap kendaraan atau pabrik. Artinya masih banyak celah yang bisa kita gunakan untuk bergerak tinggal pilih yang mana sesuai dengan kapasitas kita untuk melakukannya.
Dari dalam negeri kita juga bisa belajar banyak dari kearifan lokal masa silam tentang cara nenek moyang kita menjaga harmonisasi hidupnya dengan alam. Seperti contohnya masyarakat Papua yang pantang merusak alam. Menurut mereka merusak alam sama dengan merusak budaya sendiri. Alam adalah tempat mereka hidup, menemukan falsafah hidup sekaligus mencari nafkah. Atau di Bali bagaimana para petani di sana melakukan “ibadah” sekaligus melakukan cocok tanam. Setap proses mulai menyemai hingga mengeringkan padi selalu disertai dengan rangkaian upacara. Tujuannya adalah untuk meminta restu Tuhan dan alam. Oleh karena itu merekapun takut melukai alam dengan cara yang tidak benar. Meskipun terlihat sederhana namun jika kita mau mencermati ternyata budaya kita kalah jauh dengan budaya nenek moyang kita. Mereka mampu memanfaatkan alam dengan tetap menjaga eksistensinya.
Bagi siapapun yang bisa melakukan gerak penyelamatan bumi dengan lingkup besar tentu lebih baik. Budaya untuk mencintai lingkungan ini juga sudah harus ditanamkan kepada anak-anak. Adapun pola dan cara yang digunakan tak lagi bercorak teoretis dan dogmatis tetapi lebih pada pendekatan interaktif dengan mengedepankan dialog. Kita juga harus menjadi contoh yang benar. Karena apa artinya kita mengatakan jangan membuang sampah sembarangan pada anak tapi kita masih melakukannya. Mengapa budaya cinta lingkungan hidup ini perlu ditanamkan pada anak-anak kita, karena kelak merekalah penentu kebijakan soal penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik
Terus menambah pengetahuan soal ekologi juga sebisa mungkin terus kita lakukan. Karena semakin banyak tahu maka kita semakin sadar ternyata betapa banyak perbuatan kita yang merusak dan sedikit sekali yang memperbaiki. Mengembalikan wajah bumi tidak gampang. Berbeda waktu kita merusaknya sangat mudah dan cepat. Karena itu kita perlu semakin banyak tahu, meresapinya lalu mengimplementasikan dalam keseharian hidup kita. Hidup semakin hari semakin mahal nilainya. Untuk melangkah maju manusia membutuhkan bekal kemampuan dan wawasan. Disamping ”daya rangsang” dan antusiasme guna mencipta ulang masa depan dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan kuantum untuk membuat perubahan.
Saya sadar tak mungkin bisa mengubah dunia ini sendirian, tapi bersama-sama sangatlah mungkin. Oleh karena itulah saya tak pernah berhenti berharap. Tapi berharap tanpa melakukan sesuatu sama saja menginginkan sesuatu tapi tak beringsut mengambilnya. Karena itu untuk memulainya kita awali dari mengubah diri kita sendiri. Jika kita mengibaratkan diri kita adalah sebuah lilin maka kita telah mulai mematikkan api sebagimana saya tulis di atas. Satu lilin memang hanya menerangi bagian kecil dari suatu ruangan tapi bagaimana jika jumlah lilin itu banyak. Nyalanya sungguh tak terpermanai bukan cuma terang tapi benderang. Lalu siapkah kita menjadi lilin untuk mengajak lilin-lilin lain lain menyala? Seharusnya demikian karena kalau tidak siap dari sekarang kapan lagi.
“There are two ways of spreading light:
to be the candle or the mirror that reflects it”
– Edith Wharton –
No comments:
Post a Comment