Entah
Tuhan aku tak
tahu ini untuk kali ke berapa aku bertanya tentang sebuah pertanyaan bodoh yang
sama kepadaMu. Tentang sebuah cara, sebuah jalan, sebuah jejaring untuk memujaMu, melihatMu dan
mengagungkanMu. Engkau memang selalu hadir lewat udara, terik siang hingga
butiran-butiran nasi yang aku telan. Tapi mengapa Engkau terlihat samar saat
aku tertunduk dengan jubahku. Engkau mengapung bias saat aku berbicara lewat
sajadahku. Aku seperti tersudut pada sebuah pojok gelap kala aku mencoba menyalakan
cahayaMu. Aku sadar Tuhan teramat sadar bahwa aku masih terlampau sedikit
membaca dan memahami diriMu lewat surat-suratMu. Lalu apakah karena itu Engkau kemudian menutup
pandanku terhadapMu.
Sebab terkadang
aku merasa nyaman bercakap denganMu lewat persepsi. Engkau seperti hadir
lebih dekat dalam dimensi. Tapi aku sadar Tuhan Engkau tak seharusnya
dikenal hanya lewat ruang itu. Engkau telah menyiratkan diriMu lewat media yang
dibawa utusanMu. Namun dalam tempo kini mediaMu mulai tergerus absurditas. MediaMu
menjadi demikian sempit karena terus terdistorsi oleh kalimat-kalimat ambigu. Bukan
olehMu Tuhan tapi oleh mereka yang mengaku lebih mengenalMu jauh lebih dekat
dari siapapun.
Tuhan aku kangen
untuk bercakap denganMu lagi seperti rentang masa yang lalu. Tentang matahari, bulan, tangisan bahkan hasil ujian. Saat Engkau hadir begitu nyata
lewat cara sederhana. Kala Engkau begitu nyata menyapa.
No comments:
Post a Comment